WahanaNews.co | Kontrak PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/IPP) khususnya dengan PLTU berbasis batu bara diklaim terlalu memberatkan PLN akibat konsumsi listrik masyarakat yang anjlok. Mengapa demikian?
PLN memiliki kontrak perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan IPP utamanya dengan pengembang PLTU berbasis batu bara. Adapun salah satu skema yang diatur dalam perjanjian jual beli listrik ini terkait denda atau penalti yang disebut skema take or pay (TOP).
Baca Juga:
PLN dan Pemkot Operasikan SPKLU Khusus Angkot Berbasis Listrik di Kota Bogor
Skema ini mengharuskan PLN mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini, konsumsi listrik masyarakat anjlok, sehingga ini juga membuat PLN harus menyesuaikan kondisi pasokan dengan permintaan yang ada. Namun dengan adanya skema TOP ini, berarti PLN mau tidak mau harus tetap mengambil listrik atau membayar denda kepada IPP bila pasokan yang diambil tak sesuai dengan kontraknya.
Hal ini tentunya memberatkan PLN sebagai pembeli listrik dari IPP.
Baca Juga:
PLN Operasikan SPKLU Khusus Angkot Listrik di Kota Bogor
Hal tersebut diungkapkan Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia (UI) Eko Adhi Setiawan.
Eko menggambarkan, misalnya listrik terkontrak 100 mega watt (MW), meski konsumsinya di bawah 100 MW, tapi PLN harus tetap membayar 100 MW. Seperti diketahui, pada masa pandemi Covid-19 ini, konsumsi listrik masyarakat anjlok.
Oleh karena itu , menurutnya banyak pihak yang mengusulkan agar skema TOP ini dikendalikan, karena dalam hal ini IPP sudah untung. Skema TOP menurutnya perlu ditinjau kembali agar tidak memberatkan PLN.