WahanaNews.co | Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan akan menempuh banding terhadap putusan PTUN Jakarta
yang menyatakan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, melawan hukum terkait
pernyataannya dalam rapat kerja Komisi III DPR RI. Saat itu, Burhanuddin
menyatakan tragedi Semanggi I-II bukan merupakan pelanggaran HAM Berat.
Berikut
pernyataannya:
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
"... Peristiwa
Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang
menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat,
seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk
dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada
Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai
Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM."
Hakim, dalam putusannya, menilai Burhanuddin melawan hukum atas pernyataan
itu. Hakim pun memerintahkan Burhanuddin untuk memaparkan perkembangan terkini
terkait penyelidikan kasus Semanggi I-II di depan Komisi III DPR RI.
Menanggapi
itu, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung
(Kejagung), Ferry Wibisono, menilai putusan hakim PTUN Jakarta tersebut tak benar. Ia kemudian membeberkan alasannya.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
"Melihat
banyaknya kesalahan dari PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili kasus
tersebut. Dan banyaknya kesimpulan yang dibuat tak berdasarkan alat bukti yang
ada maka kami mempersiapkan diri bawa putusan ini ke putusan tak benar dan kami
harus lakukan banding," kata Ferry dalam konpers di Kejaksaan Agung, Kamis
(5/11/2020).
Pertama,
putusan hakim dinilai tak sesuai fakta dan perundang-undangan. PTUN Jakarta
dinilai keliru dalam memberikan pertimbangan hukum.
Ferry
mengatakan, tindakan Burhanuddin dalam forum rapat kerja di Komisi III DPR
sebagai bentuk menyampaikan informasi. Hal ini belum masuk dalam perbuatan
konkret penyelenggaraan pemerintahan.
Sehingga,
Ferry merujuk Perma 2/2019, yang menyatakan bahwa informasi yang diberikan
Burhanuddin dalam rapat tersebut tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret
penyelenggaraan pemerintahan.
"Pengertian
spesifik yang menjadi kewajiban menentukan gugatan tersebut merupakan objek
perbuatan TUN, adalah perbuatan dalam melakukan perbuatan konkret dalam
penyelenggaraan pemerintahan," kata Ferry.
"Sedangkan
dalam pernyataan Jaksa Agung di rapat Komisi III tersebut adalah pemberian
informasi, bukan tindakan penyelenggaraan pemerintahan," sambungnya.
Ferry
menyatakan, jika pernyataan dan jawaban pada rapat kerja DPR dikategorikan
sebagai penyelengaraan pemerintahan, akan banyak pernyataan atau jawaban yang
merupakan objek sengketa di TUN.
Kedua, Ferry
mempermasalahkan kepentingan penggugat dalam perkara ini. Sebab unsur ada atau
tidaknya kepentingan menjadi hal krusial dalam hakim menentukan apakah perkara
ini bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Ferry
mengatakan, penggugat dalam hal ini dua orang tua korban, tak memiliki
kepentingan dalam gugatan tersebut. Ferry menjelaskan, kepentingan kedua orang
tua korban adalah terkait memastikan kasus Semanggi I-II jalan atau tidak,
bukan terkait dengan pernyataan Burhanuddin di DPR.
"Kepentingan
dari pada 2 penggugat, orang tua atas korban yang di nyatakan pelanggaran HAM
itu berkaitan dengan penanganan perkaranya. Ditangani atau tidak, maka itu jadi
kepentingan 2 orang tua korban ini. Sementara, yang jadi objek sengketa bukan
penanganan perkara. Yang jadi objek sengketa adalah ucapan penjelasan Jaksa
Agung di rapat kerja Komisi III DPR RI," ujarnya.
"Sehingga
di sini, Hakim PTUN Jakarta mencampuradukan ini, padahal ini spesifik faktor
kepentingan jadi sarat pemeriksaan suatu perkara. Jadi terkait jawaban di DPR
ini yang bersangkutan tak memiliki kepentingan," sambungnya.
Ketiga,
dalam pertimbangan hakim, kata Ferry, disebutkan pernyataan Burhanuddin
mengandung kebohongan. Sebab hakim menilai apa yang disampaikan Burhanuddin tak
sesuai dengan fakta yang sesungguhnya dan tak menguraikan proses penyelidikan
secara lengkap.
Ferry
membantah itu. Menurut dia, hakim mengabaikan sejumlah bukti di persidangan
berupa video rekaman rapat kerja beserta keterangan-keterangan aksi yang
diajukan tergugat.
Dalam
video, kata Ferry, Burhanuddin telah menguraikan atau menjelaskan proses penyelidikan,
kendala, dan penyebab bolak balik berkas perkara antara Komnas HAM dengan
Kejaksaan RI.
Selain
itu, Ferry juga menjelaskan, dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa
Agung yang menyatakan sebagai berikut:
"Seharusnya
KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya
Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk
menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2)
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM."
Hal ini
kontras dengan pokok perkara yang digugat dalam pengadilan yang menyatakan
bahwa kalimat tersebut ada dalam kejadian di rapat kerja Komisi III.
"Hakim
PTUN Jakarta telah mengabaikan alat bukti yang penting yaitu video rekaman
rapat kerja. Dalam video rekaman rapat kerja, pak Jaksa Agung tidak pernah
menyatakan kalimat 'Seharusnya komnas HAM tidak menindaklanjuti dst dst',"
kata dia.
Keempat,
Ferry menjelaskan bahwa untuk mengajukan gugatan ke PTUN harus melalui sejumlah
tahapan. Ini yang dinilai oleh Kejaksaan Agung tak dilakukan oleh penggugat.
"Pertama
adalah harus adanya keberatan lebih lanjut, kemudian harus melakukan banding
administrasi. Jangka waktu lakukan gugatan ada batasnya ditentukan beberapa
hari misalnya dari banding administrasi," kata dia.
"Penggugat
mendalilkan bahwa penggugat dalam pernyataan Jaksa Agung, penggugat menyatakan
keberatan ke Kejaksaan dan JAMPidsus, dan dijawab oleh JAMPidsus,"
sambungnya.
Setelah
menyatakan keberatan, penggugat menyatakan surat terbuka ke Presiden Jokowi
sebagai atasan Burhanuddin. Hal ini sebagai bentuk banding administratif yang
diajukan usai keberatan ditolak Kejaksaan Agung.
Substansi
surat terbuka inilah yang menurut Ferry, bukan bentuk banding administratif
yang seharusnya. Sebab isinya bukan terkait dengan ucapan Burhanuddin di rapat
dengar pendapat DPR.
"Atas
keberatan tersebut penggugat membuat surat terbuka ke presiden yang intinya
menyatakan bahwa meminta presiden menangani melanjutkan penanganan perkara HAM
berat kasus ini," kata dia.
"Kemudian
yang disampaikan adalah surat terbuka kepada presiden untuk menindaklanjuti
penangan kasus HAM Berat, bukan berkaitan dengan ucapan Jaksa Agung pada saat
di Rapat Komisi III DPR. sehingga kami melihat hakim sudah campur adukan dan
langgar ketentuan," sambungnya.
Kelima,
PTUN Jakarta memutuskan memberikan putusan Burhanuddin melanggar ketentuan
hukum. Ferry juga menyoroti ini, dan mempertanyakan aturan mana yang dilanggar.
Sebab, tak tertera dalam putusan.
Hal
tersebut dijelaskan oleh Ferry ada di putusan halaman 115 yang pokoknya
menyatakan sebagai berikut:
"Menimbang,
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, pengadilan berkesimpulan bahwa
tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut adalah cacat
substansi karena pernyataan Tergugat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya,
sehingga perbuatan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan perbuatan melawan
hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan."
"PTUN Jakarta lalai tidak dapat menjelaskan peraturan
mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan sebagai cacat substansi,"
pungkasnya. [qnt]