Sehingga,
Ferry merujuk Perma 2/2019, yang menyatakan bahwa informasi yang diberikan
Burhanuddin dalam rapat tersebut tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret
penyelenggaraan pemerintahan.
"Pengertian
spesifik yang menjadi kewajiban menentukan gugatan tersebut merupakan objek
perbuatan TUN, adalah perbuatan dalam melakukan perbuatan konkret dalam
penyelenggaraan pemerintahan," kata Ferry.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
"Sedangkan
dalam pernyataan Jaksa Agung di rapat Komisi III tersebut adalah pemberian
informasi, bukan tindakan penyelenggaraan pemerintahan," sambungnya.
Ferry
menyatakan, jika pernyataan dan jawaban pada rapat kerja DPR dikategorikan
sebagai penyelengaraan pemerintahan, akan banyak pernyataan atau jawaban yang
merupakan objek sengketa di TUN.
Kedua, Ferry
mempermasalahkan kepentingan penggugat dalam perkara ini. Sebab unsur ada atau
tidaknya kepentingan menjadi hal krusial dalam hakim menentukan apakah perkara
ini bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
Ferry
mengatakan, penggugat dalam hal ini dua orang tua korban, tak memiliki
kepentingan dalam gugatan tersebut. Ferry menjelaskan, kepentingan kedua orang
tua korban adalah terkait memastikan kasus Semanggi I-II jalan atau tidak,
bukan terkait dengan pernyataan Burhanuddin di DPR.
"Kepentingan
dari pada 2 penggugat, orang tua atas korban yang di nyatakan pelanggaran HAM
itu berkaitan dengan penanganan perkaranya. Ditangani atau tidak, maka itu jadi
kepentingan 2 orang tua korban ini. Sementara, yang jadi objek sengketa bukan
penanganan perkara. Yang jadi objek sengketa adalah ucapan penjelasan Jaksa
Agung di rapat kerja Komisi III DPR RI," ujarnya.
"Sehingga
di sini, Hakim PTUN Jakarta mencampuradukan ini, padahal ini spesifik faktor
kepentingan jadi sarat pemeriksaan suatu perkara. Jadi terkait jawaban di DPR
ini yang bersangkutan tak memiliki kepentingan," sambungnya.