Ketiga,
dalam pertimbangan hakim, kata Ferry, disebutkan pernyataan Burhanuddin
mengandung kebohongan. Sebab hakim menilai apa yang disampaikan Burhanuddin tak
sesuai dengan fakta yang sesungguhnya dan tak menguraikan proses penyelidikan
secara lengkap.
Ferry
membantah itu. Menurut dia, hakim mengabaikan sejumlah bukti di persidangan
berupa video rekaman rapat kerja beserta keterangan-keterangan aksi yang
diajukan tergugat.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Dalam
video, kata Ferry, Burhanuddin telah menguraikan atau menjelaskan proses penyelidikan,
kendala, dan penyebab bolak balik berkas perkara antara Komnas HAM dengan
Kejaksaan RI.
Selain
itu, Ferry juga menjelaskan, dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa
Agung yang menyatakan sebagai berikut:
"Seharusnya
KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya
Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk
menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2)
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM."
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
Hal ini
kontras dengan pokok perkara yang digugat dalam pengadilan yang menyatakan
bahwa kalimat tersebut ada dalam kejadian di rapat kerja Komisi III.
"Hakim
PTUN Jakarta telah mengabaikan alat bukti yang penting yaitu video rekaman
rapat kerja. Dalam video rekaman rapat kerja, pak Jaksa Agung tidak pernah
menyatakan kalimat 'Seharusnya komnas HAM tidak menindaklanjuti dst dst',"
kata dia.
Keempat,
Ferry menjelaskan bahwa untuk mengajukan gugatan ke PTUN harus melalui sejumlah
tahapan. Ini yang dinilai oleh Kejaksaan Agung tak dilakukan oleh penggugat.