"Pertama
adalah harus adanya keberatan lebih lanjut, kemudian harus melakukan banding
administrasi. Jangka waktu lakukan gugatan ada batasnya ditentukan beberapa
hari misalnya dari banding administrasi," kata dia.
"Penggugat
mendalilkan bahwa penggugat dalam pernyataan Jaksa Agung, penggugat menyatakan
keberatan ke Kejaksaan dan JAMPidsus, dan dijawab oleh JAMPidsus,"
sambungnya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Setelah
menyatakan keberatan, penggugat menyatakan surat terbuka ke Presiden Jokowi
sebagai atasan Burhanuddin. Hal ini sebagai bentuk banding administratif yang
diajukan usai keberatan ditolak Kejaksaan Agung.
Substansi
surat terbuka inilah yang menurut Ferry, bukan bentuk banding administratif
yang seharusnya. Sebab isinya bukan terkait dengan ucapan Burhanuddin di rapat
dengar pendapat DPR.
"Atas
keberatan tersebut penggugat membuat surat terbuka ke presiden yang intinya
menyatakan bahwa meminta presiden menangani melanjutkan penanganan perkara HAM
berat kasus ini," kata dia.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
"Kemudian
yang disampaikan adalah surat terbuka kepada presiden untuk menindaklanjuti
penangan kasus HAM Berat, bukan berkaitan dengan ucapan Jaksa Agung pada saat
di Rapat Komisi III DPR. sehingga kami melihat hakim sudah campur adukan dan
langgar ketentuan," sambungnya.
Kelima,
PTUN Jakarta memutuskan memberikan putusan Burhanuddin melanggar ketentuan
hukum. Ferry juga menyoroti ini, dan mempertanyakan aturan mana yang dilanggar.
Sebab, tak tertera dalam putusan.
Hal
tersebut dijelaskan oleh Ferry ada di putusan halaman 115 yang pokoknya
menyatakan sebagai berikut: