WahanaNews.co | Selepas
penghentian perkara skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh KPK, kini
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan untuk memburu aset berkaitan BLBI
tapi lembaga antikorupsi itu tidak diajak.
Baca Juga:
Usai Penetapan Presiden dan Wapres Terpilih Oleh KPU, Jokowi Minta Prabowo-Gibran Persiapkan Diri
Urusan BLBI yang bila dirunut dari tahun 1997-1998 ini
kembali mencuat karena benang kusutnya tidak juga terurai. Belakangan malah KPK
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk perkara BLBI
dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim.
KPK beralasan SP3 itu untuk memberikan kepastian hukum
karena penyelenggara negara dalam perkara itu yaitu Syafruddin Arsyad
Temenggung sebagai mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
telah lebih dulu dilepas Mahkamah Agung (MA). Menurut KPK, oleh karena tidak
adanya penyelenggara negara--yang menjadi keharusan bagi KPK mengusut perkara
korupsi--maka SP3 itu diterbitkan.
Usai drama SP3 itu kini Presiden Jokowi meneken Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana
BLBI. Untuk apa?
Baca Juga:
Usai Disebut Bukan Kader PDIP Lagi, Gibran: Dipecat Juga Ngak Apa-apa
Salinan aturan itu sendiri belum terbuka bagi publik. Namun
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud
Md sedikit memberikan kisi-kisi.
"Tanggal 6 April 2021, Presiden mengeluarkan keppres.
Isinya? Keppres yang dimaksud adalah Keppres No 6 Tahun 2021 tentang Satgas
Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Di dalam keppres tersebut ada lima
menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri, yang ditugasi mengarahkan Satgas
untuk melakukan penagihan dan pemrosesan semua jaminan agar segera jadi aset
negara," ujar Mahfud Md melalui akun Twitter-nya, seperti dilihat Jumat
(8/4/2021). Ejaan dalam kutipan telah disesuaikan
"Kini pemerintah akan menagih dan memburu aset-aset
karena utang perdata terkait BLBI, yang jumlahnya lebih dari Rp 108
triliun," ujarnya.
Dari apa yang dicuitkan Mahfud itu bisa dilihat bahwa tidak
ada keterlibatan KPK. Bila pengusutan secara perdata maka nantinya seharusnya
Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara (Jamdatun) akan lebih berperan bersamaan dengan 5 menteri lain
yang belum disebutkan dengan terang oleh Mahfud.
Selain itu dari mana hitung-hitungan Rp 108 triliun yang
disebutkan Mahfud sebagai utang perdata BLBI belum disebutkan. Namun dari
catatan detikcom, urusan BLBI yang bergulir lebih dari 2 dekade ini menelan
setidaknya Rp 144,53 triliun uang negara.
Kala itu pada tahun 1998 disebutkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) bila negara merugi sekitar Rp 138,4 triliun dari kucuran Rp
144,53 triliun untuk menyehatkan setidaknya 48 bank yang diterpa krisis
moneter. Salah satu obligor yang sempat terjerat yaitu Sjamsul Nursalim yang
baru-baru ini mendapatkan 'surat sakti' SP3 dari KPK.
Semua bermula pada kepemimpinan Agus Rahardjo Cs di KPK
dengan menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Singkat cerita
Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan diperberat menjadi 15 tahun penjara di
tingkat banding.
Namun dalam tahap kasasi, Syafruddin dilepas MA. Para hakim
agung yang mengadili perkara itu berbeda pendapat tapi pada intinya perbuatan
Syafruddin dianggap bukan merupakan tindak pidana. KPK pun mengeluarkan satu
jurus terakhir yaitu Peninjauan Kembali (PK) tapi kandas dan Syafruddin
melenggang bebas.
Saat itu KPK masih menjerat Sjamsul Nursalim dan Itjih
Nursalim sebagai tersangka. Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dianggap merugikan negara Rp 4,58 triliun
karena diduga mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk BLBI tetapi
asetnya berupa kredit macet.
Kasus bergulir sekian lama di KPK tanpa kehadiran Sjamsul
Nursalim yang berada di Singapura. Hingga pada 31 Maret 2021 KPK menerbitkan
SP3.
Pengumunan SP3 itu dilakukan Wakil Ketua KPK Alexander
Marwata pada 1 April 2021. Dalam konferensi pers itu Alexander memaparkan Pasal
11 Undang-Undang KPK perihal keharusan penyelenggara negara dalam kasus yang
ditangani KPK. Di kasus BLBI itu sebelumnya penyelenggara negara disandang oleh
Syafruddin selaku mantan Ketua BPPN.
"Dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK, yaitu
dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK
berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara," kata Alexander.
"KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan
penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi, sedangkan
tersangka SN (Sjamsul Nursalim) dan ISN (Itjih Nursalim) berkapasitas sebagai
orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT (Syafruddin Arsyad
Temenggung) selaku penyelenggara negara maka KPK memutuskan untuk menghentikan
penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," imbuh
Alexander.
Dengan dihentikannya kasus BLBI itu, Sjamsul Nursalim dan
Itjih Sjamsul Nursalim tidak lagi menyandang status tersangka di KPK dalam
kasus BLBI. Keduanya pun tak lagi dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55
ayat 1 ke-1 KUHP.
SP3 ini menimbulkan kegaduhan dengan munculnya beragam
kritik. Mahfud Md selaku Menkopolhukam mengaku memantau langsung keriuhan yang
terjadi. Apa kata Mahfud?
Mahfud mengamini langkah KPK. Sebab, menurut Mahfud, SP3 itu
adalah konsekuensi dari putusan MA untuk Syafruddin.
"Rilis SP3 oleh KPK untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih
dalam kasus BLBI (konpres KPK tanggal 1/4/21) memancing riuh. SP3 itu adalah
konsekuensi dari vonis MA bahwa kasus itu bukan pidana," kata Mahfud.
"KPK mengajukan PK atas vonis MA yang membebaskan ST
(Syafruddin A Temenggung) tanggal 9 Juli 2019 itu, tapi PK itu tidak diterima
oleh MA. ST tetap bebas dan Sjamsul N-Itjih ikut lepas dari status tersangka
karena perkaranya adalah 1 paket dengan ST (dilakukan bersama)," imbuhnya. [dhn]