WahanaNews.co | Kapolri Jenderal Pol Listyo
Sigit Prabowo berulang kali menyebut soal restorative
justice atau keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara oleh anggota
Polri.
Perihal
restorative justice ini utamanya
Sigit tekankan dalam upaya penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.
Baca Juga:
62 Perkara Diselesaikan Kejari Jakarta Barat dengan “Restorative Justice” Sepanjang 2023
Ia
bahkan menerbitkan Surat Edaran pada 19 Februari 2021, yang salah satu isinya meminta
penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam
penegakan hukum dan mengedepankan restorative
justice dalam penyelesaian perkara.
Selain
itu, Sigit secara khusus berpesan kepada Kabareskrim, Komjen Pol Agus Andrianto, untuk
benar-benar mengawal penegakan hukum yang berkeadilan.
Sigit
tidak ingin masyarakat terus-menerus merasa bahwa hukum tajam ke bawah tapi
tumpul ke atas.
Baca Juga:
Diduga Cabuli Keponakannya, Suami Wakil Bupati Labuhanbatu Dilaporkan ke Polisi
Ia
menyatakan, Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan
rasa keadilan.
Sigit
menegaskan soal pentingnya mengutamakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
"Restorative justice sebagai bentuk
penyelesaian permasalahan ymg memenuhi rasa keadilan, kita coba formulasikan
dengan baik sehingga rasa keadilan betul-betul kita wujudkan," ujar Sigit,
Rabu (24/2/2021).
Apa Itu Restorative Justice?
Menurut
Kuat Puji Prayitno (2012), yang dikutip oleh I Made Tambir (2019) dalam
penelitian berjudul "Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak
Pidana di Tingkat Penyidikan", restorative justice
merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan
pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu
kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam
masyarakat.
Kendati
begitu, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tersurat mengatur pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan
tindak pidana di tingkat penyidikan.
Sementara
itu, menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah
pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka
tentang masalah korban.
Mardjono
mengatakan, restorative justice
penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan
bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang
cenderung mengarah pada tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada
pembalasan, dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses
perkaranya.
Penerapan Restorative Justice
Bertalian
dengan surat edaran, Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi
tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan siber yang menggunakan UU
ITE.
Surat
telegram itu terbit pada 22 Februari 2021.
Lewat
telegram, Kapolri menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus
pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan.
Ia pun
meminta penyidik Polri tidak melakukan penahanan.
Sementara
itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau
agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang
menimbulkan keonaran, tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.
Dalam
penanganan perkara, Kapolri pun menginstruksikan seluruh Kapolda
agar gelar perkara dilaksanakan secara virtual kepada Kabareskrim up
Dirtipidsiber dalam setiap tahap penyidikan dan penetapan tersangka. [qnt]