DIPLOMASI Indonesia
dalam berkonvensi internasional tentang narkotika, mengalami kontroversi antara
komitmen apa yang seharus dilakukan, kenyataan yang dilakukan.
Dalam meratifikasi konvensi tentang narkotika
menjadi UU No 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika
beserta protokol yang merubahnya dan UU No 7 tahun 1997 tentang pengesahan
konvensi tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psykotropika
mengalami kontroversi dalam implementasinya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Kedua UU tersebut menjadi UU Dasarnya narkotika yang
mengatur antara lain tentang sanksk rehabilitasi bagi penyalah guna dan sanksi
hukuman penjara, denda dan perampasan aset bagi pengedar narkotika.
Kedua UU tersebut menjadi politik hukum pemerintah
dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan
komitmen sebagai berikut:
1. Bahwa pemerintah Indonesia bersedia menyelaraskan
peraturan perundang undangan dan prosedur administrasi sesuai kedua konvensi
tersebut yang berisi pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan dalam membuat UU
Narkotika.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
2. Bahwa pemerintah melarang kepemilikan narkotika
dan penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi sebagai perbuatan melanggar
hukum, kecuali bila atas petunjuk dokter. Terhadap pelakunya dikenakan hukuman
pembinaan, purnarawat, rehabilitasi atau reintegrasi sosial.
3. Bahwa pemerintah melarang perdagangan gelap narkotika
mulai dari penamanan, produksi dan distribusi narkotika kecuali bila mendapat
ijin dari pemerintah. Terhadap pelaku kejahatan tersebut dihukum dengan hukuman
penjara, denda dan perampasan aset.
4. Bahwa kejahatan penanaman, produksi, distribusi
narkotika berdasarkan konvensi termasuk kejahatan yang dapat diextradisikan
meskipun tidak mempunyai perjanjian ektradisi secara bilateral dengan negara
lain.
5. Bahwa penegak hukum dapat melakukan kerjasama dan
bantuan hukum "timbal balik" dengan saling memberikan bantuan hukum, termasuk
alih proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan kejahatan narkotika.
Pada tahun 2009, berdasarkan UU no 8 tahun 1976 dan
UU no 7 tahun 1997 maka DPR dan Pemerintah membuat UU no 35 tahun 2009 tentang
narkotika sebagai UU modern, up to date dan fleksibe namun namun tidak difahami
oleh masarakatnya sehingga tersosialisasi sebagai UU yang banyak kekurangannya.
Salah satunya kekurangan UU narkotika yang menonjol
karena UU narkotika, tidak diajarkan di fakultas hukum sebagai mata kuliah
hukum narkotika sehingga kekhususan hukum narkotika tidak difahami oleh
masarakat termasuk penegak hukumnya sendiri.
Menurut catatan saya: dalam membuat UU no 35 tahun
2009 tentang narkotika terdapat ketentuan yang sesuai persis dengan UU no 8
tahun 1976 dan UU no 7 tahun 1997 dan ketentuan yang di sesuaikan dengan
yuridiksi hukum pidana Indonesia.
Ketentuan yang sesuai persis dalam meratifikasi
konvensi antara lain; pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dilarang
secara pidana, diancaman dengan hukuman penjara (pasal 127/1) dan sanksinya
berupa menjalani rehabilitasi (pasal 103/2).
Mewenangan menjatuhkan sanksi menjalani rehabilitasi
diberikan kepada hakim yang mengadili perkara tersebut (pasal 103/1).
Tapi sayang dalam memeriksa perkara kepemilikan atau
penyalahgunaan narkotika, hakimnya menjatuhkan hukuman penjara meskipun
terbukti secara sah sebagai penyalah guna untuk diri sendiri (direktori putusan
mahkamah agung).
Yang disesuaikan dengan yuridiksi hukum pidana di
indonesia dalam membentuk UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu sanksinya
pidana mati dan sanksi perampasan aset.
Sanksi pidana mati tersebut tidak diatur dalam
konvensi tetapi masuk dalam yuridiksi hukum pidana indonesia, sedangkan sanksi
perampasan aset semula tidak masuk dalam lingkup yuridiksi hukum pidana di
Indonesia kemudian berdasarkan UU narkotika menjadi sanksi bagi pengedar
narkotika.
Faktanya eksekusi pidana mati warga negara asing
ketika sudah mendapatkan keputusan hukum yang final dan presiden menolak
memberikan grasi yang berarti tinggal dilakukan eksekusi ternyata menimbulkan
banyak permasalahan, antara lain:
Pertama, kalau tidak dilakukan eksekusi maka masalah
yang terjadi adalah terdapat terpidana mati yang sudah 10 tahun dipenjara belum
dieksekusi bahkan ada yang 20 tahun juga belum dieksekusi, ada juga ditemukan
seorang terpidana mati menunggu eksekuasi sampai 30 tahun.
Masalah tersebut dijadikan alasan sebagai kelemahan
pemerintah dan pelanggaran hak asasi oleh penyelenggara negara.
Kedua, kalau dilakukan eksekusi maka terpidana mati
warga negara asing juga menjadi masalah diplomasi dengan negara sahabat.
Hal ini bisa difahami karena lebih dari 102 negara
didunia, tidak lagi mencantumkan pidana mati dalam hukum pidananya, artinya
lebih dari 60 % negara didunia ini tidak melakukan eksekusi pidana mati, dan
pelaku peredaran gelap narkotika yang sudah disepakati dalam konvensi
hukumannya berupa hukuman penjara, denda dan perampasan aset.
Eksekusi Mati dan Keretakan Diplomasi
Setiap kali dilakukan eksekusi pidana mati terhadap
terpidana narkotika warga negara asing menimbulkan masalah diplomati yang
membuat keretakan hubungan diplomasi yang sangat merugikan Indonesia, meskipun
eksekusi pidana mati adalah masuk yuridiksi hukum pidana Indonesia.
UU kita mengatur terpidana mati perkara narkotika
untuk dilakukan ektradisi. Bagi indonesia ektradisi ini bisa menjadi modal
diplomasi dalam memainkan peranan indonesia dalam hubungan dengan negara lain,
sebaliknya bila dieksekusi justru akan menimbulkan drama diplomasi yang
merugikan.
Drama diplomasi pernah dilakukan oleh australia dan
brasil ketika warga negaranya dieksekusi mati karena perkara narkotika bahkan
mereka tidak hanya mengecam tapi juga menarik duta besarnya dan mengancam tidak
mengisi duta besarnya lagi.
Kemudian tidak lama kemudian presiden Brasil menolak
memberi surat kepercayaan pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia
menjadi duta besar di Brasil.
Menyusul drama pembalasan akibat eksekusi pidana
mati berupa ancaman boikot dari Australia agar warganya tidak mengunjungi Indonesia.
Disisi lain banyak warga negara Indonesia yang
dihukum mati di negara lain jumlahnya mencapai ratusan orang, dimana pemerintah
indonesia dituntut masarakatnya untuk melakukan upaya menggagalkan eksekusi
pidana mati tersebut.
Diplomasi berkaitan dengan masalah narkotika
khususnya eksekusi pidana mati mengalami dilema, secara konvensi disepakati
tidak mengatur hukuman mati namun hukuman mati merupakan yuriksi hukum pidana
indonesia.
Hal tersebut yang menjadikan indonesia dituduh
melakukan diplomasi ganda, satu sisi menyetujui konvesi yang tidak mencantumkan
ancaman hukuman mati namun disisi lain melakukan eksekusi terpidana mati bagi
pengedar narkotika warga negara asing.
Saya menyarankan kepada pemerintah agar pemerintah
mengektradisikan terpidana mati yang lebih dari 10 tahun dipenjara dan grasinya
ditolak oleh presiden.
Ektradisi tersebut sebagai wujud bentuk kerjasama
internasional yang disepakati, sekaligus sebagai modal diplomasi indonesia
dalam percaturan politik global baik secara bilateral maupun multilateral. (Anang Iskandar, Dosen dan Pegiat Anti-Penyalahgunaan Narkotika)-dhn