5. Bahwa penegak hukum dapat melakukan kerjasama dan
bantuan hukum "timbal balik" dengan saling memberikan bantuan hukum, termasuk
alih proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan kejahatan narkotika.
Pada tahun 2009, berdasarkan UU no 8 tahun 1976 dan
UU no 7 tahun 1997 maka DPR dan Pemerintah membuat UU no 35 tahun 2009 tentang
narkotika sebagai UU modern, up to date dan fleksibe namun namun tidak difahami
oleh masarakatnya sehingga tersosialisasi sebagai UU yang banyak kekurangannya.
Baca Juga:
Kemen PPPA Pastikan Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Korban KDRT 5 ART di Jaktim
Salah satunya kekurangan UU narkotika yang menonjol
karena UU narkotika, tidak diajarkan di fakultas hukum sebagai mata kuliah
hukum narkotika sehingga kekhususan hukum narkotika tidak difahami oleh
masarakat termasuk penegak hukumnya sendiri.
Menurut catatan saya: dalam membuat UU no 35 tahun
2009 tentang narkotika terdapat ketentuan yang sesuai persis dengan UU no 8
tahun 1976 dan UU no 7 tahun 1997 dan ketentuan yang di sesuaikan dengan
yuridiksi hukum pidana Indonesia.
Ketentuan yang sesuai persis dalam meratifikasi
konvensi antara lain; pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dilarang
secara pidana, diancaman dengan hukuman penjara (pasal 127/1) dan sanksinya
berupa menjalani rehabilitasi (pasal 103/2).
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
Mewenangan menjatuhkan sanksi menjalani rehabilitasi
diberikan kepada hakim yang mengadili perkara tersebut (pasal 103/1).
Tapi sayang dalam memeriksa perkara kepemilikan atau
penyalahgunaan narkotika, hakimnya menjatuhkan hukuman penjara meskipun
terbukti secara sah sebagai penyalah guna untuk diri sendiri (direktori putusan
mahkamah agung).
Yang disesuaikan dengan yuridiksi hukum pidana di
indonesia dalam membentuk UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu sanksinya
pidana mati dan sanksi perampasan aset.