Sanksi pidana mati tersebut tidak diatur dalam
konvensi tetapi masuk dalam yuridiksi hukum pidana indonesia, sedangkan sanksi
perampasan aset semula tidak masuk dalam lingkup yuridiksi hukum pidana di
Indonesia kemudian berdasarkan UU narkotika menjadi sanksi bagi pengedar
narkotika.
Faktanya eksekusi pidana mati warga negara asing
ketika sudah mendapatkan keputusan hukum yang final dan presiden menolak
memberikan grasi yang berarti tinggal dilakukan eksekusi ternyata menimbulkan
banyak permasalahan, antara lain:
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
Pertama, kalau tidak dilakukan eksekusi maka masalah
yang terjadi adalah terdapat terpidana mati yang sudah 10 tahun dipenjara belum
dieksekusi bahkan ada yang 20 tahun juga belum dieksekusi, ada juga ditemukan
seorang terpidana mati menunggu eksekuasi sampai 30 tahun.
Masalah tersebut dijadikan alasan sebagai kelemahan
pemerintah dan pelanggaran hak asasi oleh penyelenggara negara.
Kedua, kalau dilakukan eksekusi maka terpidana mati
warga negara asing juga menjadi masalah diplomasi dengan negara sahabat.
Baca Juga:
Oknum Paspampres Pembunuh Imam Masykur Tolak Vonis Mati
Hal ini bisa difahami karena lebih dari 102 negara
didunia, tidak lagi mencantumkan pidana mati dalam hukum pidananya, artinya
lebih dari 60 % negara didunia ini tidak melakukan eksekusi pidana mati, dan
pelaku peredaran gelap narkotika yang sudah disepakati dalam konvensi
hukumannya berupa hukuman penjara, denda dan perampasan aset.
Eksekusi Mati dan Keretakan Diplomasi