WahanaNews.co | Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, membantah anggapan bahwa Beijing berpihak pada Rusia dalam perang Ukraina. Seperti dilaporkan RT, Selasa (1/3/2022), Wang menegaskan Tiongkok akan membela kepentingan ekonominya yang sah dalam menghadapi sanksi Barat.
“Tiongkok bukan pihak dalam krisis [Ukraina], juga tidak ingin sanksi memengaruhi Tiongkok. Saat ini, Tiongkok memiliki hak untuk melindungi hak dan kepentingannya yang sah,” tegas Wang Yi pada Senin saat panggilan telepon dengan Menlu Spanyol José Manuel Albares Bueno.
Baca Juga:
Joe Biden Didesak Blokir Permanen Mobil Listrik China
Menteri luar negeri Tiongkok meminta Moskwa dan Kiev untuk terlibat dalam dialog guna mencegah eskalasi lebih lanjut. Dia mengatakan hanya diplomasi yang dapat “membuka pintu perdamaian.”
“Tiongkok telah mempromosikan pembicaraan damai dengan caranya sendiri sejak awal krisis Ukraina. Kami berharap perundingan damai Rusia-Ukraina putaran keempat dapat mencapai kemajuan baru yang dapat diterima semua pihak,” bunyi pernyataan resmi tersebut.
Wang juga menjelaskan bahwa Beijing melihat krisis saat ini sebagai hasil dari berbagai konflik keamanan Eropa yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Dia berpendapat bahwa untuk menyelesaikan konflik, masalah keamanan yang sah dari semua pihak yang terlibat harus ditangani.
Baca Juga:
Menara Wisata China dengan Pemandangan ke Korea Utara Terancam Dirobohkan
Saat menyerukan perdamaian dan mendorong pihak yang berperang untuk mencapai gencatan senjata, Beijing dengan tegas mengutuk sanksi Barat yang dirancang untuk menghukum Moskwa atas tindakan militernya.
“Tiongkok selalu menentang penggunaan sanksi untuk menyelesaikan masalah, apalagi sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum internasional, karena tindakan seperti itu akan merusak aturan internasional dan membahayakan kesejahteraan rakyat di semua negara,” kata Wang Yi.
Amerika Serikat dan sekutu Eropanya telah memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Rusia yang menargetkan sistem perbankan, ekspor energi, dan pengembangan teknologinya setelah Moskwa melancarkan serangan militernya pada akhir Februari.