WahanaNews.co | Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menyesalkan sekaligus marah atas agresivitas China yang mengklaim kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Ia mengatakan klaim tersebut dilakukan melalui doktrin 'sembilan garis putus-putus' yang mereka yakini sebagai warisan tradisional masa lampau.
Klaim tersebut padahal sudah berulang kali dimentahkan dalam berbagai Putusan Hukum Internasional. Menurut Syarief, tindakan China jelas sebagai langkah provokatif yang pantas untuk dikecam.
Baca Juga:
Jokowi dan Menlu Wang Yi Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah
Ia mengatakan posisi Indonesia tegas, hak Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di LCS sejalan dengan Hukum Laut Internasional 1982. Sikap ini juga didukung oleh putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2016.
"Upaya klaim dan pemaksaan kehendak yang dilakukan China menunjukkan sikap agresif China yang tidak menghormati kedaulatan negara lain. Ini jelas tindakan mentang-mentang yang tidak boleh dibiarkan. China sepertinya merasa diri sebagai penguasa dunia yang dapat melakukan tindakan intimidatif sesuka hatinya. Sikap Indonesia tegas, berpegang pada Hukum Internasional sebagai dasar penegasan haknya di LCS," ungkap Syarief Hasan dalam keterangannya, Jumat (17/9/2021).
Lebih lanjut politisi senior Partai Demokrat ini berpandangan aturan maritim baru yang telah disahkan oleh Pemerintah China merefleksikan klaim sepihak China atas perairan di LCS. Dalam aturan tersebut, angkatan laut dan penjaga pantai China merasa berhak dan berwenang menghalau atau menolak masuknya kapal dari negara lain di LCS atas alasan mengancam keamanan nasional China.
Baca Juga:
Joe Biden Didesak Blokir Permanen Mobil Listrik China
Aturan tersebut dinilai Syarief merupakan ancaman nyata bagi kebebasan navigasi yang menurut PBB dan banyak negara adalah perairan internasional.
"Saya kira tindakan China ini telah melecehkan kedaulatan NKRI. Klaim sepihak yang kini telah menjadi aturan hukum di China menjelaskan China memang berniat mencaplok wilayah banyak negara di ASEAN, termasuk wilayah NKRI di Perairan Natuna," ujar Syarief Hasan.
"Selain nota protes, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya memikirkan opsi lain yang lebih tegas. Kesiapan militer dalam menghadapi ancaman dan ketidakpastian geopolitik ini harus ditingkatkan," tambahnya.