WahanaNews.co | Industri
Hasil Tembakau (IHT) tergolong sektor yang padat peraturan. Setidaknya ada lebih
dari 300 regulasi di tingkat nasional dan daerah mengatur pembatasan iklan,
promosi, tempat merokok dan lain sebagainya dengan pendekatan berbeda-beda.
Baca Juga:
Ingin Masuk Produksi Rokok Indonesia, Pemda Sumedang Fokus Pengembangan Komoditas Tembakau
Bahkan tidak sedikit dari peraturan di tingkat daerah yang
melebihi pengaturan di tingkat nasional karena bersifat pelarangan total.
Adapun, dorongan sejumlah lembaga swadaya masyarakat anti
tembakau agar pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012
tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau
Bagi Kesehatan dinilai tidak tepat.
Momentum saat ini membuat pemerintah harus menyiapkan
berbagai peraturan lain yang lebih mendesak, terlebih Pemerintah tengah
menghadapi berbagai isu prioritas yang membutuhkan respon cepat dan dukungan
semua elemen masyarakat. Isu pemulihan dari pandemi COVID-19 dan percepatan
vaksin guna meningkatkan ketahanan kelompok merupakan isu prioritas utama.
Baca Juga:
Pengamat Ingatkan RPP Kesehatan Bikin Rugi Negara-Rokok Ilegal Merajalela
Perkembangan tersebut sangat meresahkan karena menyalahi
Peraturan dan Perundang- undangan dan kontradiktif dengan berbagai upaya
Pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang baik melalui berbagai perangkat
regulasi demi mendukung pemulihan ekonomi.
Pakar Hukum, Wawan Muslih menilai, peraturan yang mengikat
industri rokok saat ini sudah cukup banyak mulai dari PP 109/2012 yang
membatasi iklan dan promosi rokok, penerapan cukai yang tinggi, hingga Kawasan
tanpa rokok (KTR) yang ditetapkan oleh berbagai pemerintah daerah. Selain
dibatasi, ketentuan iklan yang ada sekarang juga telah memuat bahaya dan
peringatan rokok.
"Harus dilihat revisi PP 109/2012 saat ini urgent atau
tidak. Menurut saya momentumnya tidak tepat. Lebih baik fokus pada pemberdayaan
masyarakat," kata Wawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (31/5/2021).