WahanaNews.co | Hilangnya Pasal 6 ayat (1)-a dari dakwaan terhadap tersangka Andi Irfan Jaya dalam skandal fatwa bebas
Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, dituding merupakan upaya untuk membonsai sekaligus menyetop
pengungkapan pihak-pihak lain yang terlibat
pada perkara
tersebut.
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI)
menduga, tak diterapkannya sangkaan suap-gratifikasi hakim untuk kader Partai Nasdem tersebut merupakan upaya Kejaksaan Agung (Kejakgung) agar kasus yang
melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari itu tak melebar ke mana-mana.
Baca Juga:
Peluang dan Tantangan: Etika & Politik Kenegaraan Indonesia
"Ini
(hilangnya Pasal 6) memang tampaknya untukmelokalisirkasus
ini, supaya tidak merebak ke mana-mana,"
kata Kordinator MAKI, Boyamin Saiman,
Kamis (29/10/2020).
Menurut
Boyamin, masyarakat dan pemerhati masalah korupsi patut curiga terkait hilangnya sangkaan suap-gratifikasi untuk hakim
tersebut. Hal itu bisa saja untuk
menutupi petinggi di Kejakgung, pun di MA, yang diduga ikut terseret
dalam kasus tersebut.
"Kita
patut curiga, itu (hilangnya Pasal 6) untuk ada yang dilindungi," terang
Boyamin.
Baca Juga:
Oknum Paspampres Pembunuh Imam Masykur Tolak Vonis Mati
Boyamin
tak menguatkan kecurigaannya itu dengan menyampaikan sejumlah nama, pun
inisial-inisial yang menurutnya dilindungi tersebut. Tetapi, kata dia,
hilangnya Pasal 6 ayat (1)-a dalam
dakwaan Andi Irfan Jaya, juga sebagai bentuk inkonsistensi penyidikan di Jaksa
Agung Muda (JAM Pidsus).
Sebab, kata dia, sejak awal penyelidikan, sampai pada
penyidikan, penyidik di JAM Pidsus terang menebalkan sangkaan suap-gratifikasi
hakim untuk Andi Irfan tersebut.
"Kalau
penyelidikan itu mencari dugaan korupsi, maka
penyidikan untuk membuat terang jenis korupsinya dengan adanya bukti-bukti. Dan
sejak awal, penyidik mengumumkan, adanya dugaan Pasal 6. Dan itu harusnya tetap
ada dalam dakwaan," terang Boyamin.