Sementara,
berdasarkan Laporan Harta Kekayaan (LHKPN) cakada yang disampaikan kepada KPK,
rata-rata total harta pasangan calon mencapai Rp 18,03 miliar. Ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus
Rp 15,17 juta.
Pendanaan
dalam Pilkada, lanjutnya, diperlukan untuk membayar uang mahar pencalonan
kepada partai politik pendukung, advertensi kampanye, sosialisasi kepada
konstituen, hingga honor saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Baca Juga:
PDIP Pastikan Siap Kolaborasi dengan Gerindra di Pilkada
Selain
itu, gratifikasi kepada masyarakat pemilih dalam bentuk barang, uang, janji
atau beli suara, serta biaya penyelesaian hukum konflik kemenangan Pilkada.
Untuk
menutupnya, pendanaan dari donatur pun dibutuhkan. Pada Pilkada2018,
katanya, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh
sponsor.
Masalahnya,
kata Nawawi, donatur yang kebanyakan pengusaha itu ada pamrihnyajika
calon yang didanainya menang. Di antaranya, dalam bentuk kemudahan perizinan
dalam menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa
pemerintah, serta keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
Baca Juga:
Pilgub Sumut 2024: Golkar dan Gerindra Kompak Tak Usung Edy Rahmayadi
"Survei
itu bertanya kepada cakada, apakah orang yang menyumbang atau donatur ini
mengharapkan balasan di kemudian hari saat para cakada menjabat? Jawabannya,
sebagian besar cakada, atau 83,80 persen dari 198 responden, menyatakan akan
memenuhi harapan tersebut ketika dia menjabat," tuturnya.
Lebih
lanjut, Ketua Bawaslu Sulawesi Utara, Herwyn J. H. Malonda, menekankan perlunya
netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pilkada.
Di
Sulawesi Utara, menurutnya, sampai saat ini sudah ada 69 ASN yang direkomendasikan
oleh Bawaslu untuk diberikan sanksi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).