WahanaNews.co | Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil mengembangkan Sakola Kembara yaitu fasilitas pendidikan gratis bagi anak-anak desa.
Sakola Kembala adalah sekolah informal yang mendorong anak-anak untuk keluar dari kampung halamannya untuk menempuh pendidikan lanjut.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Sakola sendiri artinya sekolah dalam bahasa Sunda, sementara kembara artinya pergi mengembara.
Menurut penjelasan Rommi Adany Putra Afauly, mahasiswa pengembang Sakola Kembara, gagasan sekolah informal ini berawal dari tanggung jawabnya menjadi Kepala Divisi Kolaborasi dan Implementasi di Gebrak Indonesia untuk membangun Desa CintaAsih, Jawa Barat.
Baginya, menjadi mahasiswa berarti memegang tanggung jawab untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Gebrak Indonesia adalah organisasi yang mewadahi kolaborasi sejumlah himpunan mahasiswa jurusan ITB di bidang pengembangan masyarakat (community development) berkelanjutan.
Mahasiswa Teknik Mesin ITB ini menuturkan, ia semula juga didorong keresahan melihat ketimpangan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan.
Dari jurnal yang dipublikasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Starting Unequal: How's Life for Disadvantaged Children?, ia memahami bahwa kemampuan ekonomi orang tua dapat memengaruhi kemampuan kognitif anak.
Fenomena ini nyata ia rasakan selama bersekolah di Jakarta.
Namun, Rommi sangat bersyukur hidup di lingkungan perkotaan dengan exposure pendidikan yang baik meskipun keadaan ekonomi keluarga tidak stabil.
Orang tuanya sendiri semangat menyekolahkannya setinggi mungkin, kendati keduanya perantau dari Pulau Sumatera lulusan SMP dan SMA.
Kesenjangan pendidikan di depan mata dan semangat orang tuanya itu memotivasi Rommi untuk serius mendukung pendidikan anak desa.
Berbekal pengalaman mengajar anak-anak di pelosok Bandung sejak tahun pertama di bangku kuliah, ia mengajak teman-temannya untuk membuat konsep pembangunan desa.
Mengoptimalkan dana dari ITB, Rommi dan kawan-kawannya mulai melakukan roadshow ke lima sekolah di Desa Cinta Asih.
Bersama teman-teman dari Gebrak Indonesia, ia membina kembali hubungan antara mahasiswa dan warga Desa Cinta Asih yang sempat terputus akibat pandemi Covid-19.
Rommi menuturkan, sebelumnya tidak mudah bagi mahasiswa untuk bertahan tinggal di desa selama 6 bulan.
Sebab, mereka harus menjalani perkuliahan daring, sementara sinyal internet tidak stabil dan pemadaman listrik terjadi setiap malam sepanjang 6 bulan.
Di upaya menjalin hubungan kembali, para mahasiswa menawarkan bimbingan belajar (bimbel) gratis untuk siswa SMA atau MA kelas 12 sebagai persiapan masuk perguruan tinggi. Namun, hasil yang didapatkan kurang memuaskan.
"Waktu itu yang daftar hanya berjumlah dua orang, itu pun siswa kelas 11," katanya dalam laporan mahasiswa Teknik Sipil ITB Hanan Fadhilah Ramdhani, dikutip dari laman ITB, Senin (27/2/2023).
Di upaya kedua, mereka berstrategi membagi tim jadi dua. Tim pertama tetap di Cinta Asih, tim kedua mengenalkan bimbingan belajar ke siswa sekolah di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
Cililin yang lebih dekat dengan perkotaan diharapkan memantik keinginan siswa lebih jauh untuk mengakses layanan bimbingan belajar.
Keputusan yang relatif tepat, tutur Rommi, karena kelak Sakola Kembara berhasil mengantarkan 11 dari 16 siswa MAN Cililin ke perguruan tinggi negeri.
Rommi menjelaskan, kegiatan belajar-mengajar di Sakola Kembara dibuka Sabtu pagi hingga Minggu siang.
Pengajarnya merupakan relawan dari gabungan mahasiswa ITB, IPB University, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Siliwangi.
Tidak hanya mahasiswa, sambungnya, ada juga relawan nonmahasiswa yang tergabung dalam tim pengajar. Mereka turut berkegiatan di ranah nonakademik. Terkadang, tim pengajar juga mengunjungi orang tua siswa untuk minta doa restu agar cita-cita para anak-anak tercapai.
"Kami memposisikan diri sebagai fasilitator atau kakaknya. Kami bukan guru, tetapi kakak yang hadir untuk menemani mereka karena itu yang dibutuhkan. Untuk urusan belajar, itu kuncinya ada di mereka," jelas Rommi.
Kritik pada Pemerintah
Rommi menuturkan, ia dan tim Sakola Kembara bersyukur atas dukungan materil dan moril dari semua pihak sehingga layanan pendidikan ini bisa terus berkembang.
Di sisi lain, ia menekankan bahwa Sakola Kembara adalah bentuk kritik ke pemerintah sebagai tanda adanya ketimpangan pendidikan di Indonesia.
"Selama Sakola Kembara masih ada berarti kualitas pendidikan masih belum baik," tegas Rommi.
Rommi ingin Sakola Kembara bisa mendorong pihak lain yang juga ingin memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan.
Harapannya, masyarakat lain turut bersemangat membangun negara. Sebab menurutnya, kesempatan diri bukan hadiah cuma-cuma dari Tuhan, tetapi merupakan alat untuk menyelesaikan tugas bagi negeri.
Ia menuturkan, dirinya sendiri punya cita-cita besar untuk mendirikan sekolah dengan kurikulum internasional bagi anak-anak di desa secara gratis.
Pada mahasiswa, ia berpesan agar memanfaatkan kesempatan pendidikan yang baik di kampus untuk membangun bangsa dengan kemampuan masing-masing. [Tio/Detik]