WahanaNews.co | Kemunculan website berbasis kecerdasan buatan ChatGPT yang menghebohkan masyarakat dinilai memungkinkan penggunanya mengakses berbagai informasi dalam bentuk balon percakapan.
Di dunia pendidikan, kemunculan website berbasis kecerdasan buatan ChatGPT ini cukup meresahkan karena bisa berujung menjadi kecurangan akademik.
Baca Juga:
Revolusi Pendidikan Olahraga, DPR Dukung Prabowo Tambah Jam Olahraga di Sekolah
Berbagai tanggapan pun muncul. Salah satu dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM sebagai unit bagian dari perguruan tinggi di Indonesia melalui “Sarasehan Fisipol UGM Polemik Chat GPT, Bagaimana Perguruan Tinggi Harus Bersikap”.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi menjelaskan, fenomena kecerdasan buatan ini tampaknya cukup mengagetkan namun sebetulnya sudah bisa diprediksi sebelumnya.
“Adanya perkembangan kecerdasan buatan ini bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat modern. Sebagai fenomena dan konsekuensi teknologi digital, semestinya bisa kita antisipasi,” katanya, dikutip dari laman UGM, Selasa (14/2/2023).
Baca Juga:
Sepanjang 2024, KPK Klaim Selamatkan Aset Negara Rp677,5 Miliar
Wawan menjelaskan, munculnya ChatGPT yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat ini perlu ditindaklanjuti dengan bijak, karena tidak menutup kemungkinan perkembangan teknologi akan terus muncul dengan berbagai dampak baik sisi positif maupun negatifnya.
ChatGPT baru-baru ini viral karena kemampuannya dalam membuat susunan kalimat sekelas karya tulis dengan data yang valid.
Cara penggunaannya pun cukup mudah, hanya dengan mengetik pertanyaan di kolom chat, AI akan langsung memberikan jawaban beserta keterangan sumbernya.
Bahkan, ChatGPT diperkirakan bisa memiliki hak cipta sebagai “penulis” dalam beberapa karya tulis resmi di masa depan.
“Perlu adanya inovasi mengenai copyright atau authorship supaya bisa menempatkan teknologi ini dengan baik,” ungkapnya.
“Salah satu hal yang juga menjadi concern biasanya adalah AI ini akan menggantikan pekerjaan-pekerjaan manusia. Kita akan kehilangan pekerjaan dan akan ada robot dan sistem yang menggantikan,” tutur Treviliana Putri, peneliti CfDS.
Kondisi ini mendesak manusia untuk meningkatkan kemampuannya setara, atau bahkan di atas teknologi hanya untuk mempertahankan eksistensinya.
Dosen Manajemen Kebijakan Publik UGM Agustina Kustulasari menuturkan, AI ChatGPT tetap memiliki pola dalam menyusun kalimatnya.
“Ketika saya tanya apakah kamu bisa membuat esai?, ia tidak menjawabnya dengan memberikan esai, tapi memberikan overview dan argumen yang bisa menjadi dasar bagi esai,” ujarnya.
“Begitupun dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya, menurut saya jawaban yang dia berikan itu sangat umum yang kebanyakan orang akan berpikir seperti itu,” pungkas Agustina. [Tio/Antara]