WahanaNews.co | Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan institusi pendidikan atau kampus menjadi tempat kampanye bagi para kandidat calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 disambut positif oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito mengatakan putusan MK tersebut akan menjadi sarana kampus berperan membawa demokrasi lebih bermakna melalui arena pemilu.
Baca Juga:
Pemkab Sleman Perbaiki 13 Jembatan untuk Keamanan dan Kenyamanan Masyarakat
"Keputusan MK ini kan sebetulnya hanya menjadi dasar hukum. Sekarang tantangannya adalah bagaimana kreativitas kampus. Kami di UGM pasti akan memungkinkan itu dikerjakan," kata dia di Gedung Pusat UGM, Yogyakarta, Kamis (31/8/2023).
Menurut Arie, aturan yang memperbolehkan kampanye di kampus perlu dimaknai dalam kerangka pendidikan politik mengingat kampus sebagai lembaga akademik juga memiliki peran sebagai pilar demokrasi.
"Kan kampus itu sebagai pilar demokrasi juga. Sebagai pilar demokrasi dia harus punya peran di dalam memanfaatkan satu episode yang disebut dengan pemilu," kata Sosiolog UGM ini.
Baca Juga:
Danrem 042/Gapu- Peletakan Batu Pertama Pembangunan Musholla Ar-Rachmad di Koramil 420-09/Bangko
Dia menilai selama ini banyak pihak yang fobia dengan istilah kampanye dan menganggapnya sebagai ancaman bagi stabilitas kampus.
Baginya, kesan semacam itu dimunculkan lantaran banyak parpol atau politisi yang cenderung lebih memilih menggunakan sarana baliho atau alat peraga lainnya dalam berkampanye.
Dalam konteks pendidikan politik, menurut Arie, kampus memiliki peran memberi bekal bagi publik termasuk mahasiswa dengan memformulasikan kampanye dalam bentuk debat, dialog, diskusi, atau membangun argumen antar-masing-masing kandidat.
"Kampanye itu tidak harus pakai model lama yang konvensional. Dia bisa berdebat, berdiskusi, membahas topik-topik tertentu secara tematik. Itu yang sebetulnya melandasi, maka kuncinya adalah bagaimana membuat politik dan pemilu itu tidak menakutkan," jelas Arie.
Debat yang digelar di kampus, kata Arie, juga dapat menutup peluang masing-masing kandidat menggunakan data hoaks untuk berkampanye.
Melalui sarana itu pula, publik dapat menilai kandidat mana yang memiliki komitmen, rekam jejak, serta bagaimana cara menjawab atau merespons setiap persoalan.
"Orang kalau mengumpat kan ketahuan oh ini hoaks, jangan nunggu Bawaslu melaporkan publik sudah tahu, karena ukurannya bukan soal pasal tapi ukurannya adalah etik. Jadi membawa pemilu itu ke dalam etika publik, membawa pemilu menjadi milik publik, bukan hanya miliknya KPU, Bawaslu, dan Parpol," ujar dia.
Dalam impelementasi-nya, menurut Arie, perguruan tinggi kelak perlu menyepakati aturan misalnya formatnya dalam bentuk dialog atau debat dengan tanpa disertai adanya alat peraga kampanye serta disiarkan secara langsung melalui media sosial masing-masing kampus.
Selain itu, perlu pula mengundang penyelenggara pemilu KPU serta Bawaslu dalam setiap gelaran kampanye yang dikemas dalam bentuk debat atau dialog tersebut.
"Tidak usah pakai alat peraga yang menciptakan sentimen yang berlebihan, kemudian jangan hanya dengan jargon-jargon, ngomong teriak-teriak begitu tapi bicara soal tematik tertentu soal energi, soal pangan, soal pendidikan, soal integrasi nasional, soal teknologi atau lainnya," jelas dia.
Sebelumnya, putusan Majelis Hakim MK nomor 65/PUU-XXI/2023, pada Selasa (15/8/) memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) namun sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.
[Redaktur: Zahara Sitio]