WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kerap kali tanpa disadari, keputusan keuangan yang buruk justru datang dari kebiasaan sehari-hari yang tampak normal, terutama di kalangan kelas menengah.
Dari pembelian barang mewah hingga cicilan konsumtif, banyak yang secara tak langsung menggali lubang keuangan sendiri dengan dalih mengikuti gaya hidup modern.
Baca Juga:
Paul Pogba Pimpin 51 Atlet Desak UEFA Larang Israel Tampil di Sepak Bola Internasional
Padahal, tekanan sosial dan keinginan untuk terlihat berhasil seringkali menyesatkan dan menjauhkan dari tujuan utama: kebebasan finansial.
Pakar keuangan dan pendiri Balanced News Summary, Christopher William, mengingatkan bahwa masalah terbesar yang menggerogoti stabilitas keuangan adalah kebiasaan membelanjakan uang melebihi penghasilan yang dimiliki.
"Masalah paling merusak adalah ketika seseorang menghabiskan lebih banyak daripada yang mereka hasilkan," ujarnya. Menurutnya, hal ini menjadi akar utama dari jeratan utang berkepanjangan yang sering kali menjebak kelas menengah.
Baca Juga:
Tekanan Politik AS Gagalkan Upaya Pembekuan Israel di UEFA
Salah satu penyebab utamanya adalah utang konsumtif dan cicilan yang menumpuk tanpa pertimbangan jangka panjang.
Jonathan Merry dari Moneyzine mengungkapkan bahwa banyak orang tidak menyadari betapa bahayanya pinjaman yang digunakan hanya untuk memenuhi gaya hidup, sementara Carter Seuthe dari Credit Summit Consolidation menambahkan, “Begitu bunga berjalan, sulit untuk keluar dari lingkaran itu.” Kedua pakar ini sepakat bahwa utang konsumtif bisa jadi bom waktu bagi kondisi keuangan seseorang.
Selain itu, ada pula pengeluaran yang tampak sepele namun diam-diam menguras uang, seperti berlangganan layanan streaming atau keanggotaan gym mahal yang jarang dimanfaatkan.
Merry menekankan, "Kelihatannya murah, tapi kalau dijumlahkan, jadi beban bulanan yang besar." Pengeluaran seperti ini menjadi jebakan yang tak disadari dan kerap dibiarkan terus terjadi.
Di sisi lain, keputusan untuk membeli barang yang nilainya justru turun dari waktu ke waktu juga dinilai sebagai kesalahan umum.
Steven Neeley dari Fortress Capital Advisors menyebut bahwa mobil baru dan barang-barang mewah tidak hanya merusak anggaran, tapi juga merugikan secara aset.
"Daripada mobil mahal yang nilainya turun drastis, lebih baik beli mobil bekas yang masih layak pakai," sarannya. Ia mengingatkan bahwa mengganti mobil Rp1 miliar setiap 3 hingga 5 tahun bisa menghabiskan ratusan juta rupiah.
Tak sedikit pula orang tua kelas menengah yang tetap membiayai hidup anak-anaknya yang telah dewasa, padahal mereka sendiri mendekati masa pensiun. Menurut Merry, hal ini sangat mengganggu rencana pensiun.
"Lebih baik bantu mereka mandiri, dan fokus ke dana hari tua Anda sendiri," tegasnya.
Sementara itu, sikap berhemat yang berlebihan atau frugal juga bisa membawa dampak negatif jika tidak dilakukan dengan bijak. Percy Grunwald dari Compare Banks memberi contoh, membeli barang murah yang mudah rusak justru membuat seseorang harus berulang kali membeli produk yang sama.
“Dalam jangka panjang, itu jauh lebih boros,” katanya.
Fenomena lifestyle inflation juga menjadi perhatian serius. Dennis Shirshikov dari Awning mengungkapkan bahwa naiknya gaji sering dijadikan alasan untuk meningkatkan gaya hidup, mulai dari rumah yang lebih besar hingga mobil mewah, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
"Banyak yang merasa sah membeli rumah besar atau mobil mewah hanya karena sudah disetujui bank," ujarnya.
Terakhir, tekanan sosial untuk tampil sukses di hadapan lingkungan kerap menjadi pendorong utama pengeluaran berlebih.
Shirshikov mencontohkan, "Saya punya kolega yang gajinya besar, tapi selalu habis demi gadget terbaru atau liburan mewah, hanya agar tidak kalah dengan teman-temannya."
Ia menyebut bahwa mentalitas ingin kelihatan kaya bisa menjadi musuh terbesar bagi kestabilan finansial seseorang.
Melalui serangkaian pengeluaran yang tampak biasa namun sebenarnya berisiko, kelas menengah sering kali terjebak dalam pola yang menjauhkan mereka dari cita-cita finansial yang mapan.
Mengendalikan gaya hidup dan fokus pada tujuan jangka panjang menjadi kunci untuk keluar dari jebakan tersebut.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]