Oleh MAX REGUS
Baca Juga:
Resmi Jadi Presiden-Wapres RI 2024-2029, LP3BH Manokwari Ucapkan Selamat Bekerja kepada Prabowo - Gibran
INDONESIA memasuki usia 76
tahun.
Dia lahir dari kerelaan sosial dan pengorbanan politik
tak ternilai.
Baca Juga:
Pemkab Buol Ajak Masyarakat dan Pemuda Amalkan Pancasila Jaga Keutuhan NKRI
Dia tumbuh dengan cara mengumpulkan, bukan
menceraikan.
Dia hadir dengan mengajak, bukan mengecualikan.
Setiap komunitas, baik suku, agama, bahasa, bahkan
setiap warga adalah kepingan sahih dari kisah keutuhan keindonesiaan kita.
Para bapak pendiri bangsa (founding
fathers) sudah menegaskan kenyataan sejarah ini.
Sejak awal, Indonesia muncul sebagai sulaman atas
kepingan-kepingan kepelbagaian sosial-politik.
Dengan itu, kesatuan kita tak pernah monolitik.
Dia memancarkan keindahan keragaman.
Ini mesti jadi ingatan sejarah terpenting kita.
Dan, keterarahan pada ingatan ini niscaya mengalirkan
tanggung jawab sosial-politik bersama.
Paradoks Sosial-Politik
Kita memang tahu satu hal bahwa keindonesiaan kita
adalah sebuah negosiasi kepentingan sekaligus perjuangan yang melampaui
kepentingan partikularistik.
Berangkat dari sudut pandang kekinian, kita masih
berada dalam kerasnya proses pembangunan negara-bangsa.
Pembangunan dan penciptaan kembali identitas nasional
tetap jadi isu hangat bahkan pertarungan yang hidup di Indonesia.
Geliat proses ini sesungguhnya terikat erat pada segenap
usaha membangun Indonesia yang kian adil, demokratis, dan manusiawi.
Pemikir Juan J Linz (1993), mengingatkan kita dilema
dan jebakan pembangunan negara-bangsa modern.
Singkatnya, kita sedang menemukan kesulitan bagaimana
nilai-nilai agung kebangsaan nampak dalam tindakan politik negara.
Sebaliknya, ikhtiar kebangsaan belum cukup solid jadi
wadah negara dalam pelembagaan nilai-nilai keindonesiaan.
Kita mendapati kenyataan orang-orang semakin sulit
hidup berbaur.
Peminggiran sosial-politik terhadap kelompok-kelompok
lemah menjadi kisah murah sehari-hari.
Pada penampang semacam itu, kita masih terus melewati
tikungan-tikungan maut di ranah politik dan sosial.
Keindonesiaan kita sebagai kristalisasi pembangunan
negara-bangsa kian sering memperlihatkan paradoks sosial-politik.
Negara sebagai bagian dari institusionalisasi
nilai-nilai demokrasi tak hadir sebagai pendukung inklusivitas sosial.
Demokrasi kemudian berhadapan dengan kecenderungan homogenisasi
plus hegemonisasi sosial-politik yang meremukkan kepingan-kepingan kecil
keragaman sebagai entitas keindonesiaan kita.
Kita memang tak sedang berada dalam cangkang
romantisme masa lalu.
Pada kenyataannya, sebagaimana bangsa lain (Dinnen,
2007), kita berhadapan dengan dua sisi panggilan.
Pertama, panggilan politik.
Aspek ini merujuk langsung pada pembangunan negara
agar dapat berfungsi sesuai tujuan asasinya.
Dimensi ini berkait erat pada konsistensi dan inti
pemihakan Indonesia sebagai negara modern.
Pembangunan negara, dengan fokus pada penguatan
lembaga-lembaga kunci, mesti bermuara pada kemampuan menjamin layanan dasar
bagi warga.
Kedua, panggilan sosial.
Aspek ini mengacu pada makna yang lebih luas.
Sisi ini berhubungan dengan pengembangan rasa
kebersamaan Indonesia sebagai suatu bangsa.
Ikatan ini niscaya mengalir langsung pada ruang
kewargaan dalam suatu wadah komunitas sosial-politik.
Di titik ini, sementara negara juga memiliki peran
kunci, pembangunan bangsa sesungguhnya membutuhkan mobilisasi berbagai pemangku
kepentingan.
Dua simpul panggilan ini salah satunya menuju
pembangunan identitas nasional.
Namun, kita juga mesti sadar, kemajuan pembangunan
negara-bangsa kita tak boleh dianggap unilinear.
Artinya, tak boleh ada komunitas yang secara sengaja
dipaksa memberi jalan atau tunduk pada pengucilan sosial-politik demi
kepentingan kekuatan dominan.
Risiko konstruktifnya, kita seharusnya berani membuka
diri semakin dewasa dalam proses interaksi terbuka dan adil, meski jalan itu
mungkin jauh lebih menantang.
Arus ini mesti dilewati karena dinamika ini kian
berkembang di antara segmen-segmen sosial politik baru --misalnya yang muncul
dari digitalisme demokrasi.
Cetak Biru Keindonesiaan
Dengan ingatan akan dua sisi panggilan ini, kita mesti
menatap keindonesiaan sebagai cetak biru sosial-politik kita (bdk. Grotenhuis,
2016).
Keindonesiaan adalah bagian dari kanalisasi kerinduan
bersama mencecap kesejahteraan sosial.
Pesannya, fragmentarisme pembangunan negara-bangsa tak
pernah boleh jadi bagian dari proses ini.
Sebab, setiap elemen bangsa niscaya menggenggam hak
yang sama untuk menyuntikkan nilai-nilai agung ke dalam ruang keindonesiaan.
Dari perspektif ini, kita juga kemudian bersua dengan
kesadaran bahwa pembangunan negara-bangsa bukan proses teknis yang terpisah
dari mimpi-mimpi terdalam dan terbaik dari setiap anak bangsa.
Kita perlu menaruh perjalanan pembangunan
keindonesiaan kita sesuai maksud dan titik mula kehadirannya.
Peniadaan satu kepingan sosial-politik adalah sebuah
tabrakan yang menghancurkan keindonesiaan kita.
Seharusnya ini tak akan lagi mencuat sebagai tragedi
keindonesiaan pada usianya yang semakin lanjut. (Max Regus, Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Kepingan keindonesiaan". Link untuk
baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/kepingan-keindonesiaan/.