WahanaNews.co | Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menuding Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menjadi alat perusahaan-perusahaan raksasa karena merekomendasikan
limbah batu bara atau fly ash dan bottom ash (FABA) dikeluarkan dari
kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
"KPK menjadi alat dari
kepentingan bisnis antara perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin memanfaatkan
dan kepentingan perusahaan batu bara yang ingin melepaskan bebannya," kata
Koordinator Nasional JATAM, Merah Johansyah, kepada wartawan, Jumat (19/3/2021).
Baca Juga:
Gandeng IPB, PLN Kembangkan Pemanfaatan FABA di Bangka Belitung
Merah mengatakan, keputusan mencabut FABA dari kategori B3 tidak bisa hanya
mempertimbangkan potensi celah korupsi.
Menurutnya, menghapus limbah batu bara
dari kategori berbahaya memilik banyak dampak buruk bagi kesehatan dan
lingkungan.
Dari pengalamannya mengadvokasi banyak
kasus pencemaran lingkungan, Merah mengaku kerap kali menemukan pelanggaran
pengelolaan limbah FABA yang dilakukan korporasi.
Baca Juga:
Limbah Batu Bara Diolah Jadi Pupuk, Bisa Hemat Rp 7,4 Miliar/Tahun
Padahal, FABA saat itu masih masuk
dalam kategori berbahaya.
Menurutnya, yang menjadi masalah dalam
hal ini bukan hanya perkara korupsi.
Merah pun mendorong KPK membuka kajian
rekomendasi menghapus limbah batu bara dari daftar berbahaya ke publik.
Dalam hal ini, Merah juga mengkritik
langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menuruti
rekomendasi KPK.
Ia menuding KLHK tidak
mempertimbangkan aspek lingkungan dan jadi kaki tangan korporasi.
"KLHK jelas dalam hal ini menjadi
kaki tangan dari kepentingan bisnis. Karena tidak mempertimbangkan dampak
lingkungan dengan dilepaskannya label limbah B3 dari FABA," ujarnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara Pencegahan KPK, Ipi
Maryati Kuding, menjelaskan,
rekomendasi tersebut disampaikan KPK atas kajian cepat pengelolaan FABA PLTU
milik PT PLN pada 2020.
"Hasil telaah tersebut dituangkan
dalam policy brief tentang pengelolaan FABA agar lebih bermanfaat dan
memberikan nilai ekonomi, serta tidak memberatkan tarif listrik," kata Ipi
kepada wartawan.
Ipi mengatakan, hasil
telaah tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada 20
November 2020.
Salah satu rekomendasi yang
disampaikan dalam hasil telaah adalah agar FABA dihapus dari kategori B3.
Ipi mengatakan, pihaknya
akan memaparkan secara lengkap hasil kajian tersebut.
Ia berdalih, KPK hanya
melaksanakan tugasnya dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan negara
sesuai UU KPK.
Sebelumnya, Jokowi memutuskan mencabut
FABA dari kategori limbah B3 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keputusan ini menuai kritik karena
dinilai bisa melonggarkan pengawasan pengelolaan limbah PLTU.
Namun KLHK menegaskan pihaknya akan
menegakkan hukum bagi pihak yang ketahuan menyalahi aturan dalam pengelolaan
limbah tersebut. [dhn]