WahanaNews.co | Tak hanya sarat prestasi, perhelatan Pekan Olahraga Nasional juga penuh gengsi daerah.
Daerah berlomba-lomba menjadi yang terbaik di cabang olahraga demi mengejar gengsi atau citra daerahnya di tingkat nasional.
Baca Juga:
PLN Siapkan Skema Berlapis untuk Listrik Tanpa Padam di MotoGP Mandalika
Selain itu, kesuksesan suatu daerah di PON menunjukkan daerah itu dinilai berhasil dalam pembinaan keolahragaan.
Untuk mengejar hal itu, iming-iming bonus besar pun dijanjikan pemerintah daerah bagi atlet agar meraih medali. Semua medali yang didapat atlet PON dihargai dengan nilai uang.
Paling tinggi tentu saja medali emas.
Baca Juga:
Tim Medis PON XX Papua Belum Terima Honor, DPR Papua Minta Audit
Di ajang PON XX, Gubernur Papua menjanjikan bonus Rp 1 miliar bagi peraih medali emas perseorangan, sementara Gubernur Kepulauan Riau menjanjikan Rp 350 juta, dan Gubernur NTB Rp 300 juta untuk sekeping medali emas.
Pemberian bonus itu sebagai upaya pemerintah provinsi memotivasi atletnya agar berprestasi gemilang di pentas nasional.
Selain itu, pemberian bonus adalah bentuk apresiasi daerah bagi atlet berprestasi.
Sementara dari sisi daerah sendiri, prestasi itu bakal melambungkan nama dan menaikkan pamor daerah itu di kancah nasional.
Sejatinya pemberian bonus uang bagi atlet peraih medali PON itu sudah berlangsung sejak masa Orde Baru atau PON VIII 1973 di Jakarta.
Penghargaan tak hanya berupa bonus uang, tapi juga berupa pemberian barang, beasiswa pendidikan, kenaikan pangkat, hingga kesempatan kerja atau diangkat sebagai pegawai negeri sipil.
Jika dirunut lebih jauh, di awal Orde Baru pemberian bonus atlet nilainya hanya puluhan ribu rupiah, kemudian berkembang menjadi ratusan ribu rupiah, dan di akhir masa Orde Baru bonus atlet berprestasi di PON mencapai jutaan rupiah.
Di masa Orde Baru pula kemudahan diterima sebagai pegawai negeri dan pemberian barang seperti sepeda motor, televisi, dan radio tape banyak diterima atlet.
Nominal bonus itu terus melesat setelah tumbangnya Orde Baru.
Di awal Reformasi, atlet berprestasi di ajang empat tahunan itu diganjar bonus belasan juta rupiah, selanjutnya memasuki milenium ketiga nilai bonus per keping medali emas meningkat hingga puluhan juta rupiah.
Lantas pada ajang PON XVIII/2012, nilai bonus peraih medali emas mencapai ratusan juta rupiah, dan di PON XX/2021 yang sedang berlangsung di Papua, bonus atlet peraih emas mencapai satu miliar rupiah.
Jika dicermati, bonus atlet peraih medali emas sejak pertama kali diberikan suatu daerah hingga PON XX di Papua, nilainya sudah melesat hingga 20.000 kali lipat, yakni dari Rp 50.000 di PON VIII/1973, hampir setengah abad kemudian, medali itu dihargai hingga Rp 1 miliar.
Sementara, medali perak dan perunggu melonjak 16.667 kali lipat.
Masa Orde Baru
Pemberian hadiah berupa bonus uang pertama kali diberikan pada atlet peraih medali oleh pemerintah daerah di PON VIII/1973.
Provinsi Jawa Tengah tercatat memberikan bonus uang bagi atlet perseorangan peraih medali emas dengan tabungan “Tabanas” Rp 50 ribu, perak Rp 30 ribu, dan perunggu Rp 15 ribu, sementara atlet beregu mendapat Rp 35 ribu (emas), Rp 20 ribu (perak), dan Rp 10 ribu (perunggu).
Sebaliknya, Pemda DKI Jakarta yang kembali meraih juara umum di PON 1973 justru menegaskan tidak memberikan hadiah barang atau uang bagi atlet berprestasi di PON VIII karena dana pembinaan olahraga dari APBD dialokasikan ke induk organsasi.
Atlet peraih medali diberikan kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil.
Di ajang PON selanjutnya hadiah bagi atlet berprestasi makin banyak diberikan oleh daerah-daerah lainnya.
Irian Jaya (kini Papua) memberikan hadiah terbesar yakni lima kali lipat dibandingkan daerah lainnya di PON 1981.
Peraih medali emas dari Irian Jaya diganjar Rp 500 ribu, perak Rp 300 ribu, dan perunggu Rp 150 ribu.
Selain bonus uang, sejumlah Pemda memberikan hadiah barang bagi atlet terbaiknya.
Kaltim memberikan televisi berwarna bagi atlet peraih medali emas dan perak, sementara peraih perunggu mendapat radio tape.
Sementara Pemda Lampung memberikan televisi bagi atlet-atlet sepak bola yang meraih medali emas di PON 1981.
Pemda luar Jawa semakin jorjoran dalam memberikan bonus bagi atlet yang berprestasi di PON 1985.
Sulawesi Selatan mengganjar peraih emas dengan uang Rp 400 ribu, perak Rp 200 ribu, dan perunggu Rp 150 ribu.
Selain itu, kalangan swasta juga memberikan bonus Rp 500 ribu untuk peraih emas, Rp 300 ribu buat perak, dan perunggu Rp 200 ribu.
Sementara Irian Jaya kembali memberikan hadiah yang nilainya sama seperti PON sebelumnya,
Empat tahun berselang, pemberian bonus atlet semakin menggejala dan dilakukan oleh hampir seluruh peserta PON 1989.
Bahkan, DKI Jakarta yang sebelumnya tak memberikan bonus uang pun akhirnya memberikan juga pada atletnya.
DKI Jakarta mengganjar peraih medali emas Rp 750 ribu, perak Rp 500 ribu, dan perunggu Rp 300 ribu dan atlet yang tak meraih medali Rp 150 ribu.
Provinsi di luar Jawa bahkan memberikan bonus atlet dengan nilai jutaan rupiah per keping medali.
Sumsel memberikan bonus Rp 2 juta untuk medali emas, sementara Sulteng mengganjar peraih emas dengan nilai yang sama.
Adapun Jambi memberikan bonus Rp 3 juta untuk peraih emas, Rp 1,5 juta untuk perak dan Rp 1 juta untuk perunggu.
Di PON 1993, hampir seluruh daerah memberikan iming-iming bonus untuk meningkatkan pamor daerahnya, meski Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu Akbar Tandjung mengkritik hal itu dengan mengatakan bahwa iming-iming itu tidak wajar dan bertentangan dengan pembinaan keolahragaan.
Kalbar memberikan uang rangsangan sebesar Rp 6 juta untuk setiap medali emas, perak Rp 2 juta, dan perunggu Rp 1 juta.
Sementara Timor Timur, menjanjikan bonus Rp 7 juta bagi peraih emas, perak Rp 3 juta, dan perunggu Rp 1,75 juta.
Pemda di Pulau Jawa tak kalah dalam jorjoran bonus bagi atletnya.
Jawa Tengah mengganjar satu keping medali emas dengan uang Rp 20 juta, sementara Jabar memberikan bonus Rp 10 juta per keping emas.
Adapun juara umum DKI Jakarta memberikan bonus berupa tabungan Rp 10 juta untuk peraih medali emas perseorangan, dan Rp 5 juta untuk emas beregu.
Setelah dikritik sejumlah kalangan jika iming-iming bonus itu dinilai tidak mendidik dan bertentangan dengan pembinaan, pada ajang PON terakhir yang digelar Orde Baru (PON 1996), sejumlah Pemda tidak lagi memberikan iming-iming berupa uang.
Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Surjadi Soedirdja, mengharapkan agar para atlet DKI Jakarta meraih prestasi setinggi-tingginya, demi harga diri dan kehormatan para atlet sendiri.
Masa Reformasi
Setelah meredup di akhir Orde Baru, jorjoran bonus kembali marak di masa Reformasi.
PON pertama di Surabaya meski minus Timor Timur yang lepas dari Indonesia dan menjadi Negara Timor Leste, tidak menyurutkan gairah daerah menjadi terhebat di olahraga, bahkan bonus atlet pun nilainya mencapai puluhan juta rupiah per keping medali emas.
Jawa Timur sebagai tuan rumah PON 2000, menjanjikan bonus besar bagi atlet peraih medali.
Satu medali emas perseorangan diganjar Rp 20 juta, perak Rp 7,5 juta, dan perunggu Rp 5 juta.
Sementara Jabar yang ingin mempertahankan peringkatnya menjanjikan peraih emas Rp 19 juta, perak Rp 11 juta, dan perunggu Rp 5 juta.
Adapun Papua, Bali, dan Jambi mengganjar peraih medali emas dengan uang Rp 15 juta.
Empat tahun kemudian jorjoran daerah memberikan bonus atlet periah medali semakin marak dan nilainya terus meningkat.
Sumbar tercatat tertinggi dengan menganjar peraih emas Rp 70 juta, sementara Kaltim menjanjikan atlet peraih medali emas Rp 25 juta, dan Kalbar Rp 30 juta untuk medali emas.
Sementara Jateng mengucurkan bonus sekeping emas Rp 40 juta, perak Rp 15 juta, dan Rp 10 juta untuk perunggu.
Bonus Melesat
Memasuki PON 2008 yang digelar di Kaltim, nilai bonus peraih medali emas melesat hingga ratusan juta rupiah.
Sebagai tuan rumah Pemerintah Kaltim mengiming-imingi atletnya dengan bonus Rp 150 juta bagi medali emas, hal serupa dilakukan Jawa Tengah yang menjanjikan bonus Rp 150 juta.
Godaan bonus yang cukup besar itu memicu hijrahnya atlet-atlet ke provinsi tersebut.
Untuk memagari atletnya, sejumlah daerah juga menaikkan nilai bonus meski tak sebesar Kaltim dan Jateng Sumsel mengganjar medali emas Rp 50 juta, perak Rp 30 juta, perunggu Rp 10 juta.
Sementara Jambi menghadiahi atlet peraih medali emas Rp 100 juta, perak Rp 40 juta, dan perunggu 25 juta.
Pemprov Jabar memberikan bonus Rp 75 juta setiap medali emas yang diraih atletnya, sedangkan Pemerintah Provinsi Jatim mengganjar atlet peraih emas dengan Rp 100 juta.
Menjelang PON 2012 di Riau, jor-joran bonus kembali dinyalakan Jawa Timur demi mempertahankan prestasinya sebagai juara umum.
Provinsi itu menjanjikan kucuran bonus Rp 150 juta bagi atlet peraih medali emas atau meningkat 50 persen dibandingkan PON sebelumnya.
Sementara Jawa Tengah menjanjikan Rp 150 juta per medali emas, perak Rp 60 juta dan untuk perunggu Rp 30 juta.
DKI Jakarta yang bertekad merebut juara umum mengiming-imingi bonus peraih medali emas dengan Rp 200 juta, perak Rp 70 juta, dan perunggu Rp 35 juta.
Sejumlah daerah di luar Jawa bahkan memberikan bonus lebih besar bagi atletnya.
Kalsel menghargai Rp 300 juta untuk setiap keping emas, sementara Kaltim memberikan bonus Rp 250 juta untuk sekeping medali emas PON Riau.
Adapun Kalbar memberi Rp 200 juta untuk medali emas, dan Bali menjanjikan Rp 100 juta bagi peraih medali emas dan mengangkat sebagai pegawai negeri sipil.
Pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga mencoba meredam jorjoran bonus atlet di PON XIX yang dilakukan banyak pemerintah daerah.
Kemenpora menghimbau daerah agar dalam memberikan bonus atlet tidak melebihi bonus yang diberikan negara.
Selama ini, negara menetapkan bonus medali emas untuk SEA Games Rp 200 juta, Asian Games Rp 400 juta, dan untuk Olimpiade sebesar Rp 5 miliar.
Terbaru di ajang PON XX/2021, tuan rumah Papua menjanjikan bonus yang melampaui bonus yang dberikan negara Negara pada atlet SEA Games dan Asian Games yakni Rp 1 miliar bagi peraih medali emas perseorangan dan Rp 650 juta bagi atlet beregu.
Pemprov Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Barat melakukan hal yang sama.
Kerpri siap mengganjar sekeping emas bonus uang Rp 350 juta, sementara NTB menjanjikan bonus Rp 300 juta.
Iming-iming atau pemberian bonus uang demi mengangkat gengsi daerah sebenarnya wajar di tengah jaminan dan kesejahteraan atlet yang jauh dari memadai.
Namun yang paling penting adalah bagaimana para atlet berprestasi menunjukkan sikap disiplin, kerja keras, dan kerja sama yang bisa menjadi contoh masyarakat daerahnya sehingga bisa meningkatkan kualitas manusia di daerahnya. [dhn]
Artikel telah tayang di Kompas.id dengan judul “Berapa Bonus Atlet Peraih Medali PON?” Klik untuk baca: Berapa Bonus Atlet Peraih Medali PON? - Kompas.id.