Oleh RICHARD SAM BERA
Baca Juga:
Leani Ratri Oktila Terima Bonus Paralimpik Rp 13,5 Miliar dari Pemerintah
APAKAH Indonesia benar-benar menginginkan perolehan medali Olimpiade
lebih banyak?
Olimpiade
Tokyo 2020 sudah berakhir.
Baca Juga:
Paralimpiade 2020: Hary/Leani Raih Emas Kedua RI
Sekali lagi,
Indonesia diselimuti kegembiraan atas kemenangan satu medali emas atlet kita di
Olimpiade.
Kali ini di
Tokyo, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil meraih medali emas di cabang
olahraga bulutangkis nomor ganda putri.
Raihan
Greysia dan Apriyani merupakan catatan sejarah baru bagi dunia bulutangkis
Indonesia.
Sebelumnya,
Indonesia belum pernah meraih medali apa pun di nomor ganda putri ini.
Pemain putri
lain yang pernah meraih medali di ajang Olimpiade adalah Susi Susanti (emas
Olimpiade Barcelona 1992 dan perunggu Olimpiade Atlanta 1996) serta Mia Audina
(perunggu Olimpiade Barcelona 1992).
Prestasi
Greysia dan Apriyani menjadi lebih manis lagi karena mereka adalah pasangan
yang tidak diunggulkan (unseed)
saat Olimpiade
Tokyo dimulai dan berhasil menumbangkan pasangan China yang merupakan ranking
kedua di pertandingan final.
Dan sekali
lagi, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo menyambut keberhasilan
medali emas ini dengan memberikan bonus uang sebesar Rp 5,5 miliar kepada
pasangan peraih medali emas tersebut.
Peraih medali
perak, Eko Yulianto, dari angkat besi, dan para
peraih medali perunggu, Windy Cantika (angkat besi), Erwin Abdullah (angkat
besi), serta Anthony Ginting (bulutangkis), juga mendapatkan bonus sebesar
masing-masing Rp 2,5 miliar bagi peraih medali perak dan Rp 1,5 miliar bagi
peraih medali perunggu.
Selain itu,
masih ada bonus-bonus lain dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dan berbagai
pihak swasta.
Stagnan
Akan tetapi,
raihan medali Indonesia di ajang Olimpiade tampaknya sudah mencapai titik
stagnan.
Dari semua
Olimpiade yang diikuti Indonesia sejak 1988, jumlah rata-rata perolehan medali
Indonesia adalah empat medali.
Sementara
rata-rata medali emas yang diraih adalah satu medali per Olimpiade.
Pada
Olimpiade Seoul 1988, kita hanya meraih satu medali perak.
Pada
Olimpiade Barcelona 1992, Indonesia membawa pulang lima medali (dua emas, dua
perak, dan satu perunggu).
Pada
Olimpiade Atlanta 1996, empat medali (satu emas, satu perak, dan dua perunggu).
Olimpiade
Sydney 2000 enam medali (satu emas, tiga perak, dan dua perunggu).
Selanjutnya,
Olimpiade Athena 2004 empat medali (satu emas, satu perak, dan dua perunggu).
Olimpiade
Beijing 2008 enam medali (satu emas, satu perak, dan empat perunggu).
Olimpiade
London 2012 tiga medali (dua perak dan satu perunggu).
Olimpiade Rio
de Janeiro tiga medali (satu emas dan dua perak).
Terakhir,
Olimpiade Tokyo 2021 lima medali (satu emas, satu perak, dan tiga perunggu).
Raihan medali
emas terbanyak adalah dua medali emas saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma
masing-masing berhasil menjadi juara di Olimpiade Barcelona 1992.
Setelah itu,
Indonesia hanya menghasilkan satu medali emas per Olimpiade dengan pengecualian
Olimpiade London 2012 yang tidak ada medali emasnya bagi kontingen Indonesia.
Perubahan Revolusioner
Jumlah raihan
ini agaknya tidak akan berubah di masa yang akan datang atau paling kurang pada
dua atau tiga Olimpiade ke depan.
Jumlah ini
tidak akan berubah jika cara pandang, cara pembiayaan, dan cara pengembangan
atlet elite di Indonesia tidak mengalami overhaul atau perubahan
total.
Perlu ada
perubahan yang revolusioner di bidang olahraga untuk Indonesia agar dapat naik
kelas ke level berikutnya, yaitu meraih antara 7-12 keping medali.
Saat ini,
pendekatan Indonesia terhadap pencapaian medali di Olimpiade (medali emas,
perak, atau perunggu) masih menggunakan metode "mencari diskon".
Indonesia
tidak mau mengeluarkan dana yang diperlukan untuk pengembangan sebuah ekosistem
olahraga elite (industri olahraga) untuk dapat menempatkan para atlet elite
Indonesia di posisi berjuang guna merebut posisi medali di Olimpiade.
Ini berarti
menempatkan mereka di babak final perebutan medali emas dan perak atau di babak
perebutan medali perunggu.
Untuk bisa
menempatkan atlet berjuang menduduki posisi podium di Olimpiade, diperlukan
dana yang tidak sedikit.
Setiap kali
anggaran pelatnas dikeluarkan oleh Kemenpora, jumlahnya jauh dari yang diperlukan.
Dengan jumlah
itu pun, masyarakat sudah kaget dan mempertanyakan justifikasi besarnya jumlah
yang dianggarkan.
Belum lagi
masalah kapan anggaran dicairkan dan masalah administrasi lain.
Meraih medali
di Olimpiade memerlukan dana yang tidak sedikit.
Jika
Indonesia mau medali yang lebih dari 4-6 keping per Olimpiade atau mau lebih
banyak medali emasnya, anggaran olahraga high performance atau atlet elite
juga harus ditingkatkan.
Dan dana yang
dikeluarkan untuk olahraga harus berupa investasi di industri olahraga yang
melibatkan sektor pendidikan, infrastruktur, mendorong pariwisata dan lapangan
pekerjaan dari penyelenggaraan pertandingan-pertandingan besar di Indonesia.
Anggaran
besar olahraga tidak hanya untuk meningkatkan raihan medali, tetapi juga
mengembangkan industri olahraga dan akhirnya prestasi olahraga.
Hal ini juga
sekaligus mengembangkan cabang olahraga lain yang dapat meraih medali di
Olimpiade, di luar bulutangkis dan angkat besi.
Data negara
penghasil medali dalam hal pengeluaran dan anggaran pembinaan olahraga elite
sangat mencengangkan.
Tim Inggris
Raya mengucurkan dana sampai Rp 6,8 triliun antara Olimpiade Rio dan Olimpiade
Tokyo untuk pembinaan tim Olimpiade mereka.
Jika dilihat
dari perolehan medali mereka yang mencapai 65 keping, Komisi Olahraga Britania
Raya mengeluarkan dana sebesar Rp 102 miliar per medali yang mereka raih di
Tokyo.
Strategi
peningkatan anggaran ini menjadi alasan tim Olimpiade Inggris Raya berhasil
keluar dari keterpurukan mereka di Olimpiade Atlanta 1996 yang hanya berhasil
meraih satu medali emas menjadi 11 emas empat tahun kemudian di Sydney tahun
2000 dan 22 medali emas di Olimpiade Tokyo lalu.
Tim Australia
mengucurkan Rp 4,8 triliun untuk programhigh
performancemenuju Tokyo semenjak Olimpiade Rio 2016.
Kontingen
"negara kanguru" ini bahkan "membayar" rata-rata Rp 81,9 miliar per keping
medali yang mereka dapatkan di Tokyo.
Raihan medali
Australia di Tokyo merupakan salah satu prestasi tersukses mereka.
Strategi ke Depan
Indonesia
sebagai negara berkembang memang tidak akan mampu mengucurkan dana triliunan
rupiah seperti Inggris atau Australia.
Akan tetapi,
alasan "negara berkembang" ini tidak bisa dipakai lagi.
Jamaika,
Iran, Kroasia, dan Kenya juga negara berkembang, tetapi mereka masing-masing
berhasil meraih paling sedikit tiga medali emas pada Olimpiade Tokyo.
Besarnya dana
yang dikucurkan memang menentukan prestasi di level olahraga atlet elite dunia.
Bagaimana
cara mengefisiensikan penggunaan dana itu merupakan ilmu manajemen tersendiri
(jika tak dikorupsi).
Tentu saja
olahraga tim dengan jumlah besar, seperti sepak bola, bola basket, bola voli,
dan hoki lapangan, perlu dana yang besar pula.
Akan tetapi,
bukan tak mungkin dengan tambahan anggaran, raihan medali Indonesia bisa
bertambah.
Oleh karena
itu, pemilihan olahraga individu atau olahraga tim yang jumlah atletnya sedikit
bisa menjadi preferensi utama.
Tim Inggris
Raya jelas-jelas memilih balap sepeda, dayung dan kano, serta renang dan
atletik yang mendapat pendanaan besar.
Di samping
jumlah medali di cabang olahraga itu banyak, setiap atletnya berpeluang
mendapatkan lebih dari satu medali karena dapat ikut di lebih dari satu nomor
pertandingan.
Dengan
demikian, pendanaan yang diberikan jadi lebih efisien dan efektif.
Sekali lagi,
jika Indonesia menginginkan keluar dari stagnasi perolehan medali yang
rata-rata empat keping di Olimpiade, pemikiran dasar pembinaan olahraga
Indonesia perlu diubah drastis.
Bukan hanya
masalah anggaran dan pola pendanaan olahraga, pola pikir dan pola kerja yang
dilakukan olahraga Indonesia saat ini juga menjadi kendala dari keberlangsungan
pembinaan jangka panjang olahraga Indonesia.
Sementara
pembinaan jangka panjang justru diperlukan jika ingin berhasil di level
prestasi olahraga dunia.
Negara-negara
kekuatan utama olahraga dunia sudah mengeksekusi rencana pembinaan para atlet
mereka untuk Olimpiade Paris 2024 yang hanya tinggal tiga tahun lagi.
Bahkan, tim
Amerika Serikat sudah menarik garis pembinaan untuk 2028.
Pada saat
itu, Los Angeles yang akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade edisi
ke-34 tersebut.
Untuk
Indonesia, dalam hal pembinaan olahraga, pemikirannya masih sejauh SEA Games
2021, yang penyelenggaraannya diundur sampai April tahun depan.
Apakah
Indonesia menganggap kejayaan di bidang olahraga merupakan bagian dari
pencapaian keberhasilan, kekuatan, dan kehidupan bangsa dan negara?
Sayangnya
belum seperti itu.
Padahal, jika
performa olahraga Indonesia kuat di panggung dunia, potensi untuk
menyelenggarakan event besar internasional
menjadi tinggi.
Hal ini bisa
mendorong industri lain, seperti pariwisata, menyediakan lapangan kerja,
meningkatkan investasi, dan memberikan penghasilan di sektor perhotelan.
Euforia
kemenangan Greysia-Apriyani ini akan hilang dalam beberapa bulan ke depan.
Secara
bangsa, kita akan kembali berkutat dengan perseteruan politik dan sosial
setelah ingar bingar kegembiraan medali emas ini pudar.
Masyarakat
kembali menganggap pendanaan di olahraga adalah hal yang membuang-buang dana
APBN.
Dan di Olimpiade Paris --yang hanya
tinggal lebih kurang 1.000 hari lagi-- di tahun 2024, kita hanya akan kembali
mengharapkan raihan rata-rata empat medali dari kontingen Indonesia, dan hanya
dari dua cabang olahraga. (Richard Sam Bera, Atlet Indonesia di Olimpiade
Seoul 1988, Atlanta 1996, dan Sydney 2000)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Mengakhiri Stagnasi Perolehan Medali
Indonesia di Olimpiade". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/24/mengakhiri-stagnasi-perolehan-medali-indonesia-di-olimpiade/.