WahanaNews.co | Kemenangan tim putra Indonesia dalam Piala Thomas seakan mengembalikan kejayaan Indonesia di kejuaraan ini.
Keberhasilan itu bak oase di padang gurun setelah Indonesia minim prestasi tahun ini.
Baca Juga:
Indonesia Tumbang 0-3, India Juara Piala Thomas 2022
Kejuaraan dunia Piala Thomas memiliki kenangan dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia.
Lambang supremasi bulutangkis beregu yang diperebutkan sejak 1949 itu sempat menjadi cerminan kegagahan tim putra Indonesia di masa lalu.
Melalui kemenangan-kemenangan di Piala Thomas, Indonesia dikenal menjadi salah satu negara superpower bulutangkis dunia.
Baca Juga:
Kalahkan Indonesia 3-0, India Juara Piala Thomas 2022
Bagaimana tidak, Indonesia menjadi negara dengan peraih kemenangan Piala Thomas terbanyak, yakni 14 kali.
Tujuh kali kemenangan diperoleh secara berturut-turut dalam setiap kejuaraan sejak 1958 hingga 1979.
Saat itu, kejuaraan diadakan setiap tiga tahun sekali.
Setelah merebut kemenangan kembali pada 1984, tim putra Indonesia berhasil menjadi juara bertahan selama lima kali sejak 1994 sampai 2002.
Sebagai catatan, sejak 1984 Piala Thomas dan Uber diselenggarakan bersamaan dua tahun sekali.
Tahun ini, tim putra Indonesia kembali menambah prestasi itu.
Setelah menanti dua dekade, akhirnya Piala Thomas kembali ke tangan Indonesia.
Dengan perlawanan sengit menghadapi juara bertahan China, Indonesia menang dengan skor 3-0.
Kemenangan tim putra Indonesia juga berarti kembalinya kejayaan Indonesia di kejuaraan bulutangkis beregu putra itu.
Tak hanya itu saja, kembalinya Piala Thomas ke Indonesia juga sangat bermakna bagi perbulutangkisan Indonesia.
Bukan sekadar lambang supremasi beregu putra, Piala Thomas juga mengingatkan akan awal mula kebangkitan bulutangkis Indonesia.
Menilik sejarah bulutangkis Indonesia, kemenangan Piala Thomas 1958 seakan-akan membuka pintu keberhasilan Indonesia di kejuaraan lainnya.
Saat itu, kemenangan tersebut disebut ajaib.
Baru pertama kali mengikuti kejuaraan itu, Indonesia langsung merebut Piala Thomas dari juara bertahan Malaysia.
Tentunya keberhasilan The Magnificent Seven saat itu bukan tanpa perjuangan.
Minim pengalaman bertanding dan modal seadanya justru menggerakkan masyarakat dan pembina organisasi bulutangkis untuk sepenuhnya mendukung tim.
Pengumpulan dana khusus dilakukan masyarakat untuk mendatangkan Ferry Sonneville yang saat itu sedang kuliah di Belanda.
Organisasi induk pun masih dibiayai dari uang pribadi para pengurusnya.
Karena itulah, Piala Thomas memiliki makna tersendiri bagi Indonesia.
Bukan hanya perkara pamor kekuatan bulutangkis di kancah dunia semata, melainkan juga nilai persatuan masyarakat Indonesia.
Maka, perebutan Piala Thomas menjadi kejuaraan yang dinanti-nantikan masyarakat.
Tim Kuat
Keberhasilan Indonesia dalam Piala Thomas juga menggambarkan kekuatan dan kualitas pebulutangkis putra Indonesia yang merata.
Sebab, kejuaraan beregu ini membutuhkan strategi berbeda dibandingkan dengan kejuaraan perorangan biasa.
Setiap tim diberikan kesempatan untuk bermain dalam lima nomor pertandingan, tiga nomor tunggal dan dua nomor ganda.
Kemenangan satu pemain sangat menyumbang poin satu tim.
Begitu juga kekalahan dalam satu nomor pertandingan akan berdampak pada perolehan poin tim.
Dengan itu, setiap pemain dibebani target kemenangan untuk mencapai poin tertinggi tim.
Praktis, tim dengan kekuatan dan kualitas terbaik pemain merata memiliki peluang lebih besar untuk menang.
Maka, setiap negara sebisa mungkin menurunkan pemain-pemain terbaiknya untuk memperkuat tim.
Karena itulah, dalam keikutsertaannya, tim Indonesia hampir selalu diperkuat oleh pemain-pemain juara dunia.
Tahun ini, tim putra Indonesia mengandalkan Anthony Sinisuka Ginting (peringkat kelima), Jonatan Christie (peringkat ketujuh), Shesar Hiren Rhustavito (peringkat ke-19), dan Chico Aura Dwi Wardoyo (peringkat ke-64) pada nomor tunggal putra.
Sementara itu, nomor ganda putra diperkuat Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon (peringkat pertama), Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (peringkat kedua), Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto (peringkat ketujuh), dan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin (peringkat ke-37).
Di kejuaraan Piala Thomas sebelumnya, Indonesia sebenarnya juga diisi oleh pemain kelas dunia.
Seperti saat Indonesia mempertahankan gelar juara Piala Thomas 2002, Marleve Mainaky yang baru saja menjuarai Swiss Terbuka 2002, Taufik Hidayat yang disebut Golden Boy, Rony Agustinus peraih emas SEA Games 1999, serta Hendrawan, peraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan Juara Dunia 2001 ditempatkan pada nomor tunggal putra.
Di nomor ganda putra, Indonesia diperkuat Candra Wijaya/Sigit Budiarto yang menempati peringkat tertinggi dunia, Tri Kusharjanto/Bambang Suprianto juara Kejuaraan Asia 2001, dan Halim Haryanto yang bersama Tony Gunawan menjadi juara dunia.
Pada kejuaraan Piala Thomas selanjutnya pun, tim Indonesia masih diperkuat pebulutangkis kelas dunia.
Beberapa nama yang rutin mengikuti kejuaraan ini seperti Taufik Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, Dionisius Hayom Rumbaka, dan Tommy Sugiarto pada nomor tunggal putra.
Kemudian ada Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan, Markis Kido, Nova Widianto, Flandy Limpele, dan Eng Hian di nomor ganda putra.
Dari susunan pemain tim Piala Thomas bertahun-tahun dapat dilihat bahwa sebenarnya Indonesia memiliki kekuatan pebulutangkis putra yang merata di tunggal putra dan ganda putra.
Bahkan, kemampuannya tidak diragukan lagi, melihat berbagai kejuaraan yang berhasil diraih.
Namun, hal itu belum tentu menentukan keberhasilan pemain.
Sebab, faktor-faktor lain, seperti mental, fokus, dan teknis, seperti undian lawan main, berat kok, serta iklim bisa berdampak pada permainan setiap tim.
Persaingan Ketat
Apalagi kualitas pemain merata di negara-negara peserta lain sehingga persaingan semakin ketat.
Hal ini dilihat dari tren kemenangan Piala Thomas dan peringkat dunia dari setiap pemain.
Dilihat dari peringkatnya, peringkat sepuluh besar tunggal putra ditempati oleh pemain-pemain dari tujuh negara.
Ketujuh negara/wilayah itu adalah Jepang (1), Denmark (2), China Taipei (1), Indonesia (2), China (2), Malaysia (1), dan Hong Kong (1).
Demikian pula dengan peringkat ganda putra yang diduduki oleh tujuh negara, yakni Indonesia (3), China Taipei (1), China (1), Jepang (2), Malaysia (1), Korea Selatan (1), dan India (1).
Dari tren prestasi di Kejuaraan Piala Thomas, ada tiga negara selain Indonesia dan China yang pernah menjuarai kompetisi ini.
Ketiganya ialah Malaysia (5), Denmark (1), dan Jepang (1).
Ketiganya juga tercatat pernah menjadi runner-up.
Malaysia selama 9 kali, Denmark 8 kali, dan Jepang 1 kali.
Namun, dari negara-negara itu, China tetap menjadi pesaing terberat yang dihadapi Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari peringkat dan prestasi tim China pada kejuaraan sebelumnya.
Jika menilik ke belakang, China memiliki rekor kemenangan yang hampir menyamai Indonesia.
Tim ”Negara Tirai Bambu” itu telah mengumpulkan 10 kali kemenangan dari 13 kali final yang dihadapi.
Namun, perlu diperhatikan bahwa China mulai ikut dalam kejuaraan Piala Thomas pada awal 1982, dua dekade sejak saat pertama Indonesia ikut serta.
Artinya, dari 20 kali keikutsertaan China, separuhnya berbuah menjadi juara.
Sementara 13 kemenangan Indonesia diperoleh dalam periode 28 kali keikutsertaan.
Dalam 20 tahun terakhir, China telah enam kali menjadi juara bertahan Piala Thomas.
Tren prestasi ini dimulai pada 2004, dua tahun setelah Piala Thomas jatuh ke tangan Indonesia.
Pada periode 2000-an, hanya pada 2016 saja China tidak menjadi juara.
Sebelumnya, pada periode 1980-1990, China juga menjadi juara bertahan selama empat kali, yaitu pada 1982, 1986, 1988, dan 1990.
Pada kejuaraan tahun ini pun, China tampil percaya diri.
Setelah memenangi setiap nomor pertandingan di Olimpiade Tokyo 2020 dan Piala Sudirman, China semakin mantap mempertahankan Piala Thomas.
Apalagi sejumlah pemain yang diturunkan dalam Piala Thomas juga membela tim China pada Piala Sudirman, beberapa waktu lalu.
Namun, keberhasilan tersebut tidak berlanjut di Piala Thomas.
China, juara bertahan Piala Thomas, berhasil dikalahkan Indonesia.
Kini tim putra Indonesia menikmati buah perjuangannya.
Piala Thomas kembali ke tangan Indonesia untuk ke-14 kali.
Piala Thomas lagi-lagi menjadi momen kebangkitan bulutangkis Indonesia dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Dahulu, saat Indonesia mulai masuk ke persaingan dunia.
Sekarang, saat Indonesia sempat minim prestasi di Olimpiade Tokyo 2020 dan Piala Sudirman.
Keberhasilan ini bak oase di tengah gurun.
Kiranya prestasi ini terus berlanjut pada kejuaraan-kejuaraan selanjutnya.
Mengingat sengitnya persaingan antarnegara dengan kekuatan yang merata, momen ini juga perlu menjadi evaluasi dan motivasi untuk meningkatkan kualitas pebulutangkis Indonesia. [qnt]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Kembalinya Kejayaan Indonesia di Piala Thomas”. Klik untuk baca: Kembalinya Kejayaan Indonesia di Piala Thomas - Kompas.id.