Oleh JIMMY S HARIANTO
Baca Juga:
Energi Greysia Polii Sulut Api Spirit Tim Bulutangkis Putri Indonesia
MENJADI pahlawan bulutangkis tidak serta-merta menjamin hidupnya langsung
berjalan mulus.
Dua atau tiga
tahun setelah tidak lagi main bulutangkis, Hariyanto Arbi mengaku sempat tak
tahu mau mengerjakan apa.
Baca Juga:
Isyaratkan Pensiun Usai Indonesia Masters 2022, Greysia Polii: CUKUP
Padahal,
segudang gelar juara dunia dikantonginya, termasuk jadi salah satu pahlawan
Piala Thomas 1994, 1996, 1998, dan 2000.
"Aku sempat
bingung. Mau ngapain setelah nggak main bulutangkis," ujar Hari, panggilan akrab adik kandung bintang bulutangkis
"80-an serta "90-an, Hastomo Arbi dan Eddy Hartono.
Hariyanto
ditemui di ruang kantornya di Juraganan, di belakang kompleks percetakan
Gramedia, Palmerah, Jakarta Selatan, Kamis (19/8/2021).
Di arena
Olimpiade, Hariyanto tidak meraih medali emas seperti Greysia Polii dan
Apriyani Rahayu di Tokyo.
Dia bahkan
gagal dalam perebutan medali perunggu Olimpiade Atlanta 1996.
Namun, hampir
semua gelar bergengsi di bulutangkis pernah diraihnya.
Gelar juara
All England, yang menjadi impian setiap pemain bulutangkis dunia, diraihnya dua
kali pada nomor tunggal putra, 1993 dan 1994.
"Semestinya
malah tiga kali di All England. Saya terlalu menyepelekan Poul Erik (Hoyer
Larsen) yang hampir selalu kalah lawan saya. Di final All England 1995, saya
kalah lawan dia, padahal enam atau tujuh kali sebelumnya, lawan dia selalu
menang," tutur Hari.
Dia masih
kecewa berat lantaran gagal mewujudkan mimpinya meraih gelar juara All England
tiga kali berturut-turut di 1995.
Gelar kelas
dunia lainnya?
Juara tunggal
putra di Kejuaraan Dunia Bulutangkis Lausanne, Swiss (1995).
Membalas
kekalahan di All England lawan Poul Erik Hoyer Larsen dari Denmark.
Juga
sebelumnya, ia juara di Piala Dunia Bulutangkis
Ho Chi Minh City, Vietnam (1994).
Selama
menjadi anggota tim Piala Thomas --lambang
supremasi beregu putra dunia-- Hariyanto Arbi selalu ikut serta membawa pulang piala itu ke
Indonesia, pada 1994, 1996, 1998, dan 2000.
Indonesia
bahkan berhasil "mengawinkan" Piala Thomas dan Uber pada 1994 dan 1996.
Tak Mudah Pindah Karier
Menurut
Hariyanto Arbi (49), tidak mudah bagi seorang pemain bulutangkis beralih karier
setelah tidak lagi mengayun raket.
Maklum,
hampir sepanjang hidup pemain bulutangkis hanya dicurahkan untuk berlatih,
tanding, latih, tanding.
Tanpa sempat
menyiapkan diri untuk berkarier setelah berbulutangkis.
"Saya bahkan
dari umur 10 tahun sudah berlatih di PB (Persatuan Bulutangkis)
Djarum di Kudus," kata Hari.
Masih usia
SD, Hariyanto sudah intensif berlatih bulutangkis.
Dan baru
empat tahun kemudian, di usia 14 tahun, ia berhasil menjuarai kompetisi pelatda
(pemusatan latihan daerah) di Jawa Tengah.
Ia mulai
melejit di level nasional pada usia 18 (setelah delapan tahun di bulutangkis)
ketika tampil sebagai juara dunia yunior di Kejuaraan Dunia Yunior Bimantara
1989.
"Saya masuk
pelatnas usia 19 tahun, lebih dulu dari pemain-pemain seangkatan saya, seperti
Hendrawan (juara dunia 2001), Marleve Mainaky (juara Indonesia Terbuka 2001),
Liu Tiong Ping. Pemain-pemain kelahiran 1972," ungkap Hariyanto Arbi.
Segudang
gelar juara itu ternyata tak cukup memuluskan karier setelah bermain bulutangkis.
Padahal, ia
juga juara Asian Games dan ikut meraih dua dari tiga medali emas Indonesia di
Hiroshima 1994, yakni di tunggal putra dan beregu putra.
Sementara
satu emas lagi dari karate perseorangan putri, Omita Ompi.
Hadiah emas
Asian Games Hiroshima itu di antaranya asuransi hingga 30 tahun dengan jumlah
tertentu.
"Sebelum 30
tahun berakhir, uang asuransi sudah saya ambil, untuk modal hidup," ungkap
Hariyanto Arbi, tanpa menyebut perusahaan asuransi yang memberinya hadiah atas
prestasi emas Asian Games 1994 Hiroshima.
Tidak heran
jika Hari justru mengaku salut pada Greysia Polii.
Greysia, saat
menerima hadiah miliaran dari Presiden Joko Widodo, secara bersamaan juga
menawarkan sepatu produksi bisnisnya.
Langkah
Greysia, peraih medali emas bulutangkis ganda putri bersama Apriyani Rahayu di
Olimpiade Tokyo, ketika diterima Presiden, menurut Hari, justru sikap yang
produktif.
Itu pertanda
Greysia sudah siap menjalani hidup berbisnis setelah tidak main bulutangkis.
Di Istana
Bogor, Jumat (13/8/2021), Presiden Joko Widodo ditawari untuk beli sepatu kets, sneaker, merek Fine Counsel
produk Greysia.
Jokowi pun
membeli sepatu seharga sejuta rupiah itu.
FlyPower
Seperti juga
Greysia Polii yang punya merek sendiri, Fine
Counsel, Hariyanto Arbi juga sudah memiliki merek sendiri, yang dirintisnya
sejak gantung raket.
Tepatnya tahun
2003, sekitar dua tahun setelah ia berhenti bermain bulutangkis.
Merek
miliknya, FlyPower, tidak datang
seketika.
Dalam keadaan
bingung, frustrasi tidak tahu mau berbuat apa, ia menghubungi mantan pemain
bulutangkis Indonesia, Fung Permadi, yang hijrah ke Taipei dan menjadi pemain
serta pelatih di sana.
Tahun 2003,
ia diberitahu Fung bahwa perusahaan Taiwan, FlyPower,
butuh baju dan sepatu olahraga dari Indonesia untuk dikirim dan dipasarkan di
Taipei.
"Dengan
sisa-sisa kejayaan saya, dengan sisa-sisa uang dari hadiah juara maupun kontrak
di masa lalu, saya pun mengerjakan order, memenuhi pesanan sepatu --dibikin
di Bandung dan Tangerang," ujar Hariyanto Arbi.
Setelah dua
atau tiga kali mengirim order ke Taiwan, Hari membuat stok lebih hingga 1.000
buah untuk dijual di dalam negeri.
Ternyata
laku, bahkan lebih laku ketimbang FlyPower
yang dijual di Taiwan.
Maka, dalam
sebuah kesepakatan setelah mulai laku di dalam negeri, Hariyanto Arbi mendapat
hak untuk menjual sendiri FlyPower Indonesia
sebagai mereknya sendiri.
Barternya
dengan pihak Taiwan?
Sosok
Hariyanto Arbi digunakan untuk promosi produk FlyPower di Taiwan.
Fung Permadi
juga ikut andil dalam saham perusahaan miliknya.
Sejak tahun
2012, Hariyanto Arbi sudah memiliki gedung kantor berlantai tiga seluas 500
meter persegi di kawasan Juraganan, Palmerah, Jakarta Selatan.
Prestasi
tertinggi Hariyanto Arbi ketika ia berhasil menggaet 20 pemain pelatnas bulutangkis
untuk mengenakan produknya pada masa kepemimpinan Ketua Umum PBSI,
Gita Wirjawan.
Produk FlyPower juga masih dipakai
pemain-pemain klub di Vietnam, Malaysia, Thailand, dan India.
Dulu juga
pernah digunakan pemain Korea, Myanmar, dan Singapura.
Tak mudah
merebut kontrak pemain di Indonesia, yang sudah sejak lama dikuasai merek
raksasa Jepang, Yonex.
Bahkan, pada
era kepemimpinan Try Sutrisno selama delapan tahun, tidak ada kontrak pribadi.
Yang
dikontrak Yonex adalah PB PBSI.
Persaingan
masa kini pun masih begitu.
Yonex dari Jepang masih yang terkuat.
Di bawah itu,
yang juga kuat adalah Li Ning,
merek dari China untuk sepatu dan baju pemain.
FlyPower pun kini bersaing bebas dengan Yonex, Li Ning, juga Victor, merek besar Taiwan yang didukung
dana besar.
"Sebenarnya
kalau ada kemauan politik pemimpin kita untuk memakai produk nasional seperti
halnya Thailand (produk nasional Grand
Sports) untuk tim nasional, misalnya, baru merek saya bisa masuk," ujar
Hariyanto Arbi.
Namun, apa
daya.
Tidak hanya
pemimpinnya, tapi juga pemainnya pasti akan lebih melirik uang kontrak yang
besar.
Uang kontrak
itu bahkan sangat besar pada saat ini, dapat mencapai 20 kali lipat dari
kontrak di era Liem Swie King di tahun 1980-an.
Sejak
kepengurusan Gita Wirjawan (2012-2014) dan juga Wiranto (2016-2020) ataupun
Agung Firman Sampoerna (2020-2024) sekarang ini, kontrak pemain dilakukan
secara terbuka.
Tanpa
dipotong, uang kontrak pun langsung ke rekening pemain.
Sementara
kontrak pemain pernah dilakukan dengan sistem massal (di era Try Sutrisno)
selama delapan tahun.
Uang kontrak
pemain dipotong sampai sekitar 25 persen.
Hari malah
mengaku, uang kontraknya pernah dipotong 50 persen untuk pembinaan, termasuk
pula untuk kas PBSI, pengurus, dan pelatih.
Adapun pada
era sebelum Try Sutrisno, kontrak dilakukan langsung dengan pemain, bahkan
tanpa melalui PBSI atau diketahui PBSI.
Hal itu
terjadi pada era Liem Swie King, Icuk Sugiarto, dan pemain-pemain
seangkatannya.
Di era
sebelumnya?
Pada masa
jago-jago bulutangkis Tan Joe Hok dan juga era Ferry Sonneville, Rudy Hartono,
Iie Sumirat, Christian, Ade Tjandra, Tjuntjun, dan Johan Wahyudi, sebagian
besar adalah proyek "terima kasih".
Cukup
sanjungan dan ucapan terima kasih.
Bagaimana
dengan hadiah?
Kalau pas ada
rezeki, lumayan.
Seperti
saat Rudy Hartono meraih delapan kali juara All England, bersamaan dengan
Iie Sumirat juara Asia mengalahkan jago-jago China, Hou Jia Chang, Tang Xianhu,
di Bangkok tahun 1976.
Tahun 1976
itu, Rudy dan Iie tak hanya diarak keliling Jakarta di Jalan Thamrin bak
pahlawan.
Mereka juga
diterima Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, dan dihadiahi mobil Corolla "model blendhuk" tipe pertama yang khas Toyota Corolla waktu itu.
Prestasi
bisnis Hariyanto Arbi yang pantas dicatat adalah saat ia menyediakan
sepatu-sepatu khusus untuk atlet angkat besi.
"Sepatu
angkat besi itu sangat khusus. Berat, dan harus kuat. Saya desain dengan motif
batik di bagian belakang sepatu FlyPower
khusus angkat besi," kata Hariyanto Arbi.
Ia mengaku memodali pembuatan sepatu
angkat besi yang berkali lipat lebih mahal dari sepatu-sepatu kets lain dengan
sisa-sisa
uang kejuaraannya dulu... (Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Sebelum Greysia, Hariyanto Arbi Juga
Berbisnis". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/22/sebelum-greysia-hariyanto-arbi-juga-berbisnis/.