WAHANANEWS.CO, Jakarta - Seorang pria asal Shanghai, China, mengalami kerugian besar setelah tertipu dalam hubungan asmara jarak jauh yang ternyata melibatkan kecerdasan buatan (AI).
Pria yang diidentifikasi sebagai Tuan Liu harus merelakan uang sebesar 200.000 yuan atau sekitar Rp 451 juta karena percaya bahwa dirinya sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Nona Jiao.
Baca Juga:
Viral! Video AI Trump Cium Kaki Elon Musk Hebohkan Kementerian AS
Namun, wanita tersebut bukanlah manusia, melainkan sosok yang diciptakan menggunakan teknologi AI generatif.
Menurut laporan dari media pemerintah China yang dikutip TribunJatim, pelaku penipuan secara sengaja menggunakan perangkat lunak AI untuk menciptakan gambar dan video yang menyerupai sosok manusia.
Dengan bantuan AI, pelaku berhasil membangun identitas fiktif bernama Nona Jiao dan meyakinkan Tuan Liu bahwa mereka sedang menjalin hubungan serius.
Baca Juga:
Luhut Bocorkan RI Mau Kembangkan Kecerdasan Buatan, Aplikasi Mirip DeepSeek
Selama berpacaran, Tuan Liu tidak pernah bertemu langsung dengan Nona Jiao, tetapi tetap percaya bahwa hubungannya nyata.
Ia bahkan beberapa kali mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening yang diklaim sebagai milik kekasihnya.
Pelaku berhasil memperdaya korban dengan alasan bahwa Nona Jiao membutuhkan dana untuk membuka usaha dan membantu kerabatnya yang sedang sakit.
Untuk mendukung kebohongan ini, pelaku juga membuat kartu identitas palsu serta dokumen medis fiktif.
Laporan dari CCTV, media pemerintah China, mengungkap bahwa seluruh interaksi, termasuk video dan foto yang dikirimkan kepada korban, dibuat menggunakan AI atau merupakan kombinasi dari beberapa gambar yang dimanipulasi.
Kasus ini pun menambah daftar panjang kejahatan siber yang semakin canggih berkat perkembangan teknologi AI generatif.
Kemajuan teknologi ini memang memungkinkan pembuatan teks, gambar, dan video yang sulit dibedakan dari konten asli, sehingga meningkatkan risiko penipuan daring.
Di China, penggunaan AI tidak hanya terbatas pada kasus penipuan seperti yang dialami Tuan Liu, tetapi juga merambah ke ranah yang lebih emosional, seperti "menghidupkan kembali" orang yang telah meninggal.
Sebuah perusahaan di China bahkan menawarkan jasa untuk menciptakan avatar digital dari orang yang sudah tiada menggunakan teknologi AI.
Salah satu kisah yang menarik perhatian adalah pengalaman Seakoo Wu, seorang ayah yang kehilangan anaknya, Xuanmo, akibat stroke saat kuliah di Inggris pada tahun 2022.
Wu menggunakan teknologi AI untuk menciptakan kembali suara dan wajah anaknya agar bisa "berkomunikasi" dengannya.
Dalam sebuah peristiwa yang emosional, Wu meletakkan ponsel di atas nisan putranya di sebuah pemakaman di China bagian timur.
Dari ponsel itu, terdengar suara Xuanmo yang tidak pernah diucapkan sebelumnya tetapi terdengar nyata berkat teknologi AI.
"Saya tahu kamu sangat kesakitan setiap hari karena saya, dan merasa bersalah serta tidak berdaya," ujar suara yang dibuat AI, menirukan mendiang Xuanmo.
Wu berharap bisa menciptakan replika digital yang lebih realistis dari anaknya di dunia virtual. Ia bahkan mulai meneliti cara untuk menyinkronkan realitas dengan metaverse, sehingga bisa memiliki kembali sosok anaknya dalam bentuk digital.
Untuk mewujudkan impiannya, Wu mengumpulkan semua foto, video, dan rekaman audio milik putranya, lalu membayar perusahaan AI untuk mengkloning suara dan wajah Xuanmo.
Meskipun hasilnya belum sempurna, Wu bertekad membangun database informasi tentang anaknya agar bisa dimasukkan ke dalam algoritma yang mampu meniru pola pikir dan cara bicara Xuanmo dengan presisi.
Teknologi "ghost bots" seperti ini memang telah berkembang di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dan kini semakin pesat di China.
Pendiri perusahaan AI Super Brain, Zhang Zewei, yang pernah berkolaborasi dengan Wu, menyatakan bahwa teknologi ini masih dalam tahap perkembangan.
Namun, di masa depan, AI mungkin akan mampu menciptakan avatar digital yang hampir tidak bisa dibedakan dari manusia asli.
Dengan semakin majunya AI generatif, dunia menghadapi tantangan baru, baik dalam hal keamanan siber maupun dampak emosional bagi manusia.
Sementara satu sisi teknologi ini dapat digunakan untuk kejahatan seperti yang dialami Tuan Liu, di sisi lain AI juga membuka kemungkinan baru dalam cara manusia mengenang dan berinteraksi dengan orang yang telah tiada.
Menurut Zhang, Tiongkok berada di garis terdepan dalam perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) di tingkat global.
"Dalam hal teknologi AI, Tiongkok berada di kelas tertinggi di seluruh dunia," ujarnya, dikutip dari Channel News Asia.
Selain keunggulan teknologi, Zhang juga menyoroti faktor lain yang membuat pasar AI di Tiongkok begitu berkembang pesat.
"Ada begitu banyak orang di China, banyak di antaranya memiliki kebutuhan emosional yang kuat. Hal ini memberi kami keuntungan besar dalam hal permintaan pasar," tambahnya.
Salah satu aplikasi teknologi AI yang berkembang di Tiongkok adalah layanan pembuatan avatar digital, yang memungkinkan seseorang untuk "menghidupkan kembali" orang yang telah meninggal atau menciptakan representasi virtual orang yang masih hidup, seperti anggota keluarga atau pasangan.
Namun, layanan ini tidaklah murah. Perusahaan seperti Super Brain, misalnya, menawarkan pembuatan avatar dasar dengan harga mulai dari 10.000 hingga 20.000 yuan, atau sekitar Rp 21-43 juta, dengan waktu pengerjaan sekitar 20 hari.
Di sisi lain, raksasa teknologi Tiongkok, Baidu, telah resmi meluncurkan chatbot berbasis AI bernama ERNIE. Langkah ini dilakukan setelah perusahaan mendapatkan izin dari pemerintah setempat, bersama beberapa perusahaan AI lainnya.
Saat ini, ERNIE sudah bisa diakses dan diunduh melalui toko aplikasi atau situs web resmi Baidu. Seperti pesaing utamanya, ChatGPT, chatbot ini memungkinkan pengguna untuk mengajukan pertanyaan, meminta analisis pasar, mencari ide slogan pemasaran, hingga merangkum dokumen dengan cepat.
Dalam wawancara dengan The Verge, perwakilan Baidu menyatakan bahwa ERNIE tersedia secara global.
Namun, ada satu kendala bagi pengguna di luar Tiongkok: pendaftaran akun memerlukan nomor telepon berbahasa Mandarin. Selain itu, aplikasi ERNIE hanya tersedia dalam bahasa Tiongkok di toko aplikasi Android dan iOS.
Sejak peluncurannya, ERNIE telah menarik perhatian luas. Dalam waktu 19 jam pertama, chatbot ini telah melampaui angka satu juta pengguna, menunjukkan tingginya minat terhadap teknologi AI generatif di Tiongkok.
Baidu juga mengumumkan rencana untuk meluncurkan berbagai aplikasi AI-native yang dirancang untuk memperkenalkan lebih banyak fitur berbasis kecerdasan buatan kepada pengguna.
Robin Li, salah satu pendiri sekaligus CEO Baidu, mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengumpulkan umpan balik dari pengguna untuk menyempurnakan model AI mereka dan menghadirkan inovasi baru bagi ERNIE.
Perjalanan Panjang ERNIE
Meski kini tersedia untuk publik, perjalanan ERNIE menuju peluncuran tidaklah mudah. Pada demo pertama, Baidu sempat mendapat kritik karena menggunakan video prarekaman, yang menyebabkan kekecewaan di kalangan investor.
Menurut laporan Reuters, Baidu dan perusahaan AI lainnya harus melewati proses evaluasi keamanan ketat sebelum mendapatkan izin pemerintah untuk meluncurkan produk mereka secara komersial.
Perusahaan-perusahaan AI yang disetujui pemerintah Tiongkok antara lain SenseTime, Baichuan Intelligent Technology, Zhipu AI, dan MiniMax.
Pemerintah Tiongkok memberlakukan regulasi ketat terhadap pengembangan AI generatif, memastikan bahwa teknologi ini tetap selaras dengan nilai-nilai ideologi negara.
Berdasarkan pedoman yang diterbitkan, semua data pelatihan model AI harus bersumber dari informasi yang dianggap sah oleh pemerintah, serta mematuhi nilai-nilai inti sosialisme.
Meski menghadapi berbagai regulasi, pengembangan ERNIE telah berlangsung cukup lama. Chatbot ini pertama kali diumumkan pada Maret 2023, namun saat itu aksesnya masih terbatas. Dalam demonstrasi awal, Baidu menunjukkan kemampuan ERNIE dalam merangkum novel fiksi ilmiah dan memberikan saran terkait pengembangan cerita lebih lanjut.
Seiring waktu, Baidu terus meningkatkan kemampuan ERNIE. Pada Agustus 2023, perusahaan mengklaim bahwa chatbot tersebut mengalami peningkatan kecerdasan hingga tiga kali lipat dibandingkan versi awalnya.
Beberapa fitur baru yang diperkenalkan termasuk kemampuan analisis dan visualisasi data, peningkatan kecepatan respons, serta pemrosesan perintah berbasis gambar.
Regulasi AI di Tiongkok
Di Tiongkok, setiap perusahaan yang ingin merilis layanan berbasis AI generatif harus mendapatkan persetujuan dari otoritas terkait.
Regulasi ini diperkenalkan dalam kebijakan sementara tentang pengelolaan layanan AI generatif yang diberlakukan sejak 15 Agustus 2023.
Pemerintah melihat AI sebagai teknologi yang memiliki dampak besar dalam sektor bisnis maupun politik. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk menyeimbangkan inovasi dengan regulasi yang memastikan AI tidak digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kebijakan negara.
Meski demikian, pemerintah tetap memberikan ruang bagi perusahaan teknologi domestik untuk bersaing di tingkat global. Dengan izin resmi yang sudah dikantongi, Baidu kini dapat menawarkan chatbot ERNIE kepada publik tanpa hambatan hukum.
Baidu sendiri belum mengonfirmasi apakah teknologi yang mendasari ERNIE serupa dengan ChatGPT atau menggunakan pendekatan berbeda. Namun, dalam hal fungsionalitas, ERNIE memiliki kesamaan dengan chatbot AI lainnya, sebagaimana dibuktikan dalam uji coba yang dilakukan CNBC.
Dengan persaingan di bidang AI yang semakin ketat, Tiongkok terus berusaha memperkuat posisinya sebagai pemimpin dalam teknologi kecerdasan buatan, baik melalui regulasi yang ketat maupun inovasi yang didorong oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Baidu.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]