WahanaNews.co | "Gunung itu benar adanya, dan ada di sana."
Begitulah perkataan George Mallory, pendaki pertama yang sampai ke puncak gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest.
Baca Juga:
Siap-Siap, Komet Iblis Raksasa Bakal Melesat ke Bumi
Setelah dimulai dengan pendakian konvensional hingga pendakian ilmiah, saat ini Gunung Everest masih memegang rekor sebagai gunung tertinggi di dunia.
Berdiri menjulang 8.848 meter, Gunung Everest merupakan bagian dari Pegunungan Himalaya, yang bisa didaki dari gerbang Nepal atau Tibet.
Gunung Everest awalnya disebut masyarakat sekitar dengan bahasa Tibet Qomolangma (Bunda Suci).
Baca Juga:
Pertama Kali Terjadi, Nepal Terbitkan 454 Izin Mendaki Gunung Everest
Pengamatan pendakian dan ketinggian Gunung Everest telah dimulai sejak 25 Oktober 1921, yang tahun ini tepat 100 tahun yang lalu.
Berikut delapan fakta menarik sejarah Gunung Everest:
1. Awalnya Bukan yang Tertinggi
Pada abad ke-19, Kerajaan Inggris adalah negara adidaya industri global, yang fokus pada eksplorasi dan penguasaan wilayah.
Di masa itu, Inggris memulai standar pengukuran, mulai dari untuk jumlah populasi, luas wilayah, jarak, sampai waktu.
Proyek ini dimulai dalam rangka pembangunan jalur kereta api Inggris pada tahun 1847.
The Great Trigonometrical Survey, proyek 70 tahun oleh East India Company --yang dipimpin oleh Sir George Everest, juga melakukan pengukuran luas wilayah Inggris di India, hingga akhirnya ke ketinggian Pegunungan Himalaya.
Tiga gunung yang sempat mendapat predikat gunung tertinggi di dunia ialah Gunung Chimborazo di Andes serta Gunung Nanda Devi dan Kanchenjunga di Himalaya.
Pada tahun 1856, Gunung Everest yang hanya disebut “Peak XV (Puncak XV)” akhirnya secara resmi dinyatakan sebagai gunung tertinggi di dunia, dengan ketinggian 8.839,8 di atas permukaan laut (mdpl).
Ketinggian resminya hari ini sedikit lebih tinggi, yakni 8.849 mdpl.
2. Penolakan Sir George Everest
"Orang-orang telah menunggu bertahun-tahun untuk mengukur ketinggian gunung, karena tampaknya tidak ada seorang pun yang memiliki cara untuk mencapainya, apalagi mendakinya," jelas Craig Storti, penulis buku The Hunt for Gunung Everest.
Puncak XV berdiri di perbatasan Nepal dan Tibet (sekarang menjadi daerah otonomi China) dan saat itu keduanya masih tertutup bagi orang asing.
Ketinggian gunung dihitung melalui serangkaian pengukuran triangulasi yang dilakukan sekitar 170 kilometer jauhnya di Darjeeling, India.
Andrew Waugh, Surveyor Jenderal Inggris di India, berhasil berargumen bahwa karena kedua negara tidak dapat diakses, maka nama lokal tidak dapat ditemukan dan Puncak XV harus dinamai menurut pendaki pertamanya, George Everest.
Sir George Everest, yang awalnya keberatan dengan kehormatan yang dianugerahkan kepadanya, sebenarnya tidak terlibat langsung dalam penemuan gunung itu, juga tidak pernah mendapat kesempatan untuk melihatnya.
Salah satu keberatannya juga, ialah ia mengatakan kalau nama keluarganya bukan dibaca "everest" melainkan "iv-rest".
3. Pendakian Ibadah
Sejarah keberadaan manusia di Gunung Everest diperkirakan telah dimulai sekitar tahun 925 dengan pembangunan Biara Rongkuk di sisi utara gunung, tulis Storti.
Tetapi upaya pertama yang diketahui pendakian ke sana adalah ekspedisi Inggris yang dimulai pada tahun 1921.
Konvensi Lhasa tahun 1904, setelah invasi Inggris yang dipimpin oleh Francis Younghusband, adalah kesepakatan perdagangan yang membentuk hambatan bagi Inggris untuk dapat memasuki Tibet.
Ekspedisi tahun 1921 dipimpin oleh penjelajah Anglo-Irlandia, Charles Howard-Bury, dan termasuk George Mallory, yang kemudian tewas dalam ekspedisi Everest pada tahun 1924, dengan jenazahnya tidak ditemukan sampai 75 tahun kemudian.
4. Ego Orang Barat
Di Nepal atau Tibet, mendaki gunung ialah kegiatan spiritual.
Biasanya pemeluk agama melakukan pendakian untuk bertapa di kuil.
Tapi tidak dengan warga negara Eropa, karena mereka mendaki gunung untuk olahraga atau rekreasi.
Kegiatan wisata ini mulai populer sejak abad ke-18.
Pada pertengahan abad ke-19 --"zaman keemasan" pendakian gunung-- puncak-puncak pegunungan Alpen yang tinggi semuanya dihitung, dari Mont Blanc hingga Mattherhorn.
Naik gunung yang tinggi sudah pasti menjadi prestise.
Perhatian beralih pada akhir abad ke-19 ke gunung-gunung di Amerika dan Afrika, tetapi "ego manusia" tetap tertuju pada penaklukan Himalaya.
Seorang Inggris bernama Albert F Mummery adalah pelopor pendaki asal Barat di Asia Selatan, yang akhirnya tewas di Gunung Nanga Parbat, dekat perbatasan India-Pakistan, pada tahun 1895.
Kata Storti, "Kehadiran pendaki Inggris di India seterusnya memulai antusiasme penaklukan gunung lain di Himalaya."
5. Icefall Doctors
Selama tiga dekade pertama ekspedisi Gunung Everest, pendaki gunung mendekati puncak dari sisi utara, yang merupakan pendakian yang jauh lebih sulit.
Misi pendakian pertama berangkat dari kota Darjeeling, India, pada tanggal 18 Mei 1921 dengan durasi perjalanan awal selama lima bulan, dan menjadi panduan bagi para pendaki gunung lain hingga saat ini.
Saat ini, para pendaki banyak melakukan perjalanan dari selatan, di mana, kata Storti, sebagian besar perjalanannya "cukup mudah, sama sekali tidak sulit secara teknis. Orang dengan pengalaman mendaki yang sangat sedikit dapat membayar US$60 ribu dan punya kesempatan sampai ke puncak Everest, selama cuaca mendukung dan para Sherpa menjaga mereka."
Gaby Pilson, praktisi kegiatan luar ruangan dan instruktur pendakian di Outforia, mengatakan bahwa salah satu kemajuan besar adalah pembentukan tim pendaki Nepal yang sangat terampil yang dikenal sebagai Icefall Doctors pada tahun 1997.
"The Icefall Doctors membangun rute melalui Khumbu Icefall, yang merupakan salah satu bagian paling berbahaya dari Rute South Col yang populer. Tanpa mereka, jumlah ekspedisi komersial di Everest setiap tahun tidak akan setinggi sekarang. Namun, banyak pemandu dan porter Icefall Doctors telah kehilangan nyawa mereka dalam beberapa tahun terakhir saat bekerja di bagian gunung yang berbahaya ini," katanya.
6. Bahaya Mendaki Everest
Salah satu pria dalam ekspedisi tahun 1921 adalah ahli kimia Skotlandia, Alexander Kellas, yang penelitiannya mengenai fisiologi dataran tinggi membuka mata dunia mengenai penjelajahan manusia di Himalaya.
Pada awal abad ke-20, sangat sedikit yang diketahui tentang efek berada di ketinggian pada tubuh manusia, karena "belum ada tempat yang setinggi itu," kata Storti.
Kellas, seorang pendaki berpengalaman, adalah bagian dari misi penelitian ke Everest, tetapi meninggal karena masalah jantung hanya sehari setelah mendaki sebelum mencapai puncaknya.
Kata Storti, "Dia melakukan pekerjaannya dengan tenang, menjadi ahli ketinggian dan efeknya pada tubuh manusia, (dan) melakukan beberapa pendakian paling spektakuler dari siapa pun di generasinya."
Kata Pilson, "Tantangan terbesar dari pendakian Everest ialah efek buruk berada di ketinggian pada tubuh manusia."
"Berada di ketinggian dalam waktu yang terlalu lama dapat menyebabkan pusing, sakit kepala, kelelahan, mual, dan sesak napas. Bahkan ketika seorang pendaki tidak merasa sakit, mereka tetap harus istriahat usai beberapa jam melangkah," lanjutnya.
Pendaki tidak menggunakan oksigen sama sekali pada ekspedisi pertama, tetapi hari ini mereka "memiliki akses ke desain masker dan tabung oksigen yang lebih baik," kata Pilson.
"Tetapi, meskipun demikian, pendaki masih memiliki masalah dengan oksigen tabung yang cepat membeku, yang membuat pendakian di ketinggian masih sangat berisiko."
Tantangan lainnya ialah durasi pendakian.
Banyak pendaki yang enggan berlama-lama istirahat karena akan memakan banyak biaya, hingga akhirnya mereka nekat mendaki walau kelelahan.
7. Jaket Tipis
Dikatakan bahwa ketika dramawan Irlandia George Bernard Shaw melihat foto tim ekspedisi Gunung Everest pada tahun 1921 --yang mengenakan pakaian sederhana berbahan wol, katun dan sutra-- dia menggambarkannya sebagai "perjalanan piknik di tengah badai salju."
Kata Storti, "Peralatan pendakiannya sangat primitif, juga pakaiannya. Sepatu bot itu kain dan bukan kulit. Jadi jika badai datang --risiko utama di Everest adalah cuacanya bukan medannya, kecuali dari utara-- mereka berisiko terkena radang dingin yang serius."
Pilson mengatakan, bahwa ada sejumlah perkembangan teknologi besar yang dimulai antara tahun 1920-an terutama dalam hal pakaian dan peralatan pendakian.
"Kemajuan modern dalam desain kain dan isolasi sintetis telah benar-benar mengubah kondisi dalam pendakian gunung. Kain tahan air yang kita anggap remeh saat ini, seperti Gore-Tex, benar-benar revolusioner ketika pertama kali memasuki pasar pada akhir 1960-an."
Untuk peralatan, "Mallory dan rekan-rekannya menggunakan tali rami, sepatu bot berpaku, kapak es berbahan kayu," kata Pilson.
"Itu adalah peralatan mutakhir pada tahun 1920-an, tetapi peralatan itu tidak dapat bekerja sebaik tali nilon atau kapak es logam yang kita gunakan saat ini."
8. Terlalu Banyak Orang di Everest
Sementara ekspedisi tahun 1921 tidak sampai ke puncak, namun pendakian itu menginspirasi pendakian pertama yang berhasil sampai ke puncak pada tahun 1953, yang dipimpin oleh Tenzing Norgay dan Edmund Hillary.
"Everest sekarang menjadi salah satu gunungyang paling populer untuk didaki di dunia dan, dengan itu, datang aliran uang dan infrastruktur di kawasan itu," kata Pilson.
"Namun, popularitas Everest memiliki tantangannya sendiri. Kepadatan di Rute South Col adalah masalah nyata, seperti juga banyaknya sampah di gunung."
Terlalu banyak pendaki di Everest sempat mengakibatkan tragedi.
Pada 11 Mei 1996, 12 orang tewas setelah badai salju yang menghantam antrean pendaki untuk summit ke puncaknya.
Hampir 900 orang mencapai puncak pada tahun 2019 --rekor jumlah pendakian hingga saat ini, dan 11 orang meninggal dengan kasus yang sama.
Perubahan iklim juga mengkhawatirkan.
Pilson mengatakan, "Sudah ada kekhawatiran tentang bagaimana panasnya Bumi dapat membuat Air Terjun Khumbu semakin tidak stabil, membuatnya lebih berbahaya untuk diseberangi."
Terlepas dari bahayanya, persona Gunung Everest terhadap pendaki tidak menunjukkan tanda-tanda memudar 100 tahun setelah ekspedisi pertama itu.
Daya pikatnya yang mematikan tidak diragukan lagi akan menginspirasi generasi petualang yang akan datang. [qnt]