Oleh HASANUDIN ABDURAKHMAN
Baca Juga:
Hadiri Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 di Belgia, Dewan Pers Sebut AI Peluang Sekaligus Ancaman
FACEBOOK memiliki sederet aturan main yang disebut Community Standard.
Tujuannya
tentu baik, yaitu mencegah perilaku negatif dalam bermedia sosial.
Baca Juga:
Indonesia Bebas Pilih Teknologi AI, Meutya Hafid Tekankan Pentingnya Talenta Digital
Berbagai
bentuk pelecehan dilarang di Facebook.
Demikian
pula perundungan, kekerasan, dan sebagainya.
Bagaimana
Facebook menegakkan standar ini?
Ini
jelas bukan pekerjaan mudah.
Ada
2,85 milyar pengguna yang harus diawasi.
Jawabannya
adalah algoritma.
Kita
bisa bayangkan, Facebook membuat
daftar kosa kata yang dilarang, algoritma itu mencari penggunaan kata-kata itu
di tengah puluhan milyar perbincangan yang berlangsung setiap saat.
Persolan
muncul dari algoritma ini.
Bagaimana
mungkin mesin bisa memahami bahasa manusia.
Lebih
muskil lagi, bagaimana mungkin mesin bisa jadi hakim atas bahasa manusia.
Di
situlah Facebook membuat blunder
besar.
Kalau
ditilik dari kasus-kasus yang dihukum oleh Facebook,
termasuk yang saya alami sendiri, Facebook
sangat mengandalkan algoritma.
Masalahnya,
algoritma Facebook masih jauh dari
kualitas yang cukup untuk memahami, apalagi menghakimi bahasa manusia.
Maka
muncullah kasus-kasus konyol, penghakiman yang tidak masuk akal oleh algoritma Facebook.
Seorang
teman saya posting tentang pedagang
pisau di pasar, langsung kena tuduhan berjualan senjata.
Komentar-komentar
yang tidak berbau pelecehan atau kekerasan, dihukum dengan tuduhan itu.
Jangan
coba-coba bercanda, Facebook sama
sekali tidak punya kemampuan untuk mendeteksi candaan, sarkasme, atau satire.
Apa
boleh buat, mesin memang tidak sanggup memahami semua itu.
Untuk
mengatasi hal itu sepertinya Facebook
masih mempekerjakan manusia, untuk melakukan evaluasi ulang terhadap
kasus-kasus yang sudah ditangani oleh mesin.
Jumlah
pekerjanya tentu sangat sedikit, dibanding angka 2,85 milyar tadi.
Masalahnya,
para manusia ini juga tidak punya kecerdasan yang cukup untuk memahami
kerumitan bahasa manusia.
Mungkin
Facebook hanya sanggup menggaji
karyawan dengan gaji berstandar UMK untuk menangani persoalan ini.
Akibatnya
mereka bekerja dengan standar buruh pabrik.
Pola
kerjanya tak jauh berbeda dengan mesin: lihat teks, bandingkan dengan standar,
eksekusi, selesai.
Bahkan
untuk sekadar memahami maksud kalimat saja mereka tidak sanggup.
Pertanyaan
menariknya, mungkinkah mesin memahami bahasa manusia sampai ke konteksnya?
Waktu Google mulai memperkenalkan Google Translator sekitar 15 tahun yang
lalu, saya sering tertawa membaca hasil terjemahannya.
Benar-benar
khas kerja mesin.
Mesin Google waktu itu masih kesulitan
memahami makna kata berbasis konteks.
Jadi
terjemahan yang dibuat Google sangat
lucu.
Tapi
kini Google Translator sudah sangat berbeda.
Banyak
pekerjaan penerjemahan bisa saya lakukan dengan bantuan Google Translator.
Saya
hanya perlu memoles sedikit saja.
Untuk
terjemahan bahasa Jepang-Inggris dan sebaliknya, hasil terjemahan Google sudah mendekati sempurna.
Untuk
bahasa Indonesia masih banyak masalah.
Apa
yang dilakukan Google?
Tentu
mustahil untuk memasukkan database
makna kata ke mesin penerjemah Google.
Di
situlah artificial intelligence, atau
kecerdasan buatan bekerja.
Ada
istilah machine learning, yaitu mesin
yang belajar.
Database yang dipakai untuk belajar adalah
berbagai teks yang ada di seluruh jaringan internet, termasuk di Google Translator sendiri.
Mesin
milik Google membandingkan triliunan
kata yang dipakai orang di internet, lalu belajar memahami makna berbasis
konteks dari situ.
Dari
situ Google kini bisa membuat mesin
operator telepon yang bisa berbicara dengan manusia, melakukan
pekerjaan-pekerjaan verbal, bahkan sudah mulai bisa mengenali candaan.
Dalam
hal ini, Google sudah jauh di depan, dibandingkan dengan Facebook. (Hasanudin Abdurakhman, Doktor Fisika Terapan
dari Tohoku University, Jepang)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Artificial
Intelligence: Facebook vs Google". Klik untuk baca:lifestyle.kompas.com/read/2021/08/27/104600620/artificial-intelligence-facebook-vs-google.