Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
ITDC dan BPODT Gelar Sosialisasi Pariwisata Berkelanjutan di Danau Toba Jelang Aquabike Jetski World Championship 2024
Dikotomi ketimpangan pembangunan Pantai Barat dengan Pantai
Timur Provinsi Sumatera Utara dari waktu
ke waktu sepertinya akan mengalami perubahan signifikan seiring dengan niat
tulus ikhlas, tekad kuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) semenjak orang nomor
satu di republik ini.
Presiden Jokowi yang telah berkunjung bebarapa kali ke
daerah Kaldera Toba membawa angin segar dan harapan baru bagi percepatan
pembangunan di daerah asal-usul atau Bona Pasogit bangso Batak yang merasakan
diskriminasi arah pembangunan, baik daerah Provinsi Sumatera Utara maupun
nasional selama ini.
Baca Juga:
Aquabike Jetski World Championship 2024 Resmi Dibuka di Danau Toba, Samosir
Hal itulah sesungguhnya akar pemicu usulan pemekaran
provinsi akibat diskriminasi laju pertumbuhan pembangunan antara Pantai Barat
dan Pantai Timur di Sumatera Utara.
Agenda kunjungan kerja Presiden Jokowi 29 Juli 2019 ke
daerah Kaldera Toba membawa asa baru percepatan pembangunan Kawasan Danau Toba
dengan komitmen alokasi anggaran 2,4 Triliyun rupiah pada APBN 2020 mengungkit
pertumbuhan kemajuan bagi sembilan (9) kabupaten/kota berakses ke Danau Toba ke
depan.
Presiden Jokowi telah melihat, mendengarkan, merasakan
langsung kerinduan masyarakat Kaldera Toba tentang keberpihakan pemerintah
memajukan destinasi wisata domestik maupun internasional ke Danau Toba danau
vulkanik terbesar di dunia yang "terlantar" dan ajang
"eksploitasi" selama ini.
Danau Toba hanya "gadis cantik" tanpa sentuhan
perias (make up) menjadikan Danau Toba anugerah besar Tuhan Yang Maha Esa bagi
provinsi Sumatera Utara khususnya, bangsa Indonesia umumnya "menangis dan
bersedih" meratapi nasibnya karena "ditelantarkan" pemangku
kekuasaan tidak mampu dan alpa menjadikan Danau Toba sumber kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat dari sektor pariwisata selama ini.
Pergantian gubernur, bupati/walikota di kawasan Kaldera Toba
beberapa kali nampaknya belum bisa melahirkan terobosan cerdas, jenial, brilian
mengembangkan kawasan Kaldera Toba "tanah harapan" bagi generasi ke
generasi masyarakat Kaldera Toba.
Padahal, menurut Drs. Suprapto & Ir. Rob van Raaij
(2007) "DPRD adalah salah satu pelaku politik pembangunan yang sangat
penting pada era otonomi daerah, seperti yang dianut oleh Indonesia kini.
Peran penting dari DPRD tercermin pada kegiatannya yang
bukan saja menyetujui usulan Perda dari Pemda, melainkan melakukan inisiatif
untuk mengajukan usulan Perda.
Perda sebagai kebijakan publik menentukan arah kemajuan
setiap daerah.
Artinya, daerah yang mempunyai kebijakan publik yang unggul,
akan mampu berkembang menjadi daerah yang unggul dibanding daerah yang
mempunyai kebijakan publik yang biasa-biasa saja.
Jadi, peran penting DPRD adalah memastikan bahwa Daerah
Otonom di mana mereka berada mempunyai kebijakan-kebijakan publik yang kelas
satu".
Tapi sungguh disayangkan dan disesalkan DPRD di Kawasan
Kaldera Toba belum menggunakan hak inisiatifnya maksimal melahirkan peraturan
daerah (Perda) Eksistensi dan Perlindungan Hak Keperdataan Masyarakat Hukum
Adat (MHA) termasuk Pengembangan Kawasan Kaldera Toba destinasi wisata Kultural
di republik ini.
Harus disadari komprehensif paripurna seluruh stakeholders
kawasan Kaldera Toba, sebesar apapun niat tulus, tekad kuat Presiden Jokowi
mengembangkan kawasan Danau Toba, tanpa dukungan maksimal dari stakeholders dan
masyarakat Kawasan Kaldera Toba maka akan sia-sia belaka.
Bahkan, Danau Toba akan seperti "anak gadis
diperkosa" berulang kali karena Danau Toba dijadikan menu politik serta
ajang bancakan menanggok keuntungan individu, kelompok, golongan tertentu, baik
keuntungan politik maupun finansial, dll.
Pada artikel penulis "Akankah Danau Toba
Tersenyum....???" telah mencoba menguraikan lika-liku penderitaan Danau
Toba membuat danau terbesar kedua di dunia "Menangis dan Mengerang"
seperti artikel-artikel penulis di masa lalu.
Danau Toba bukanlah warisan akan dibagi-bagi dan
dieksploitasi. Melainkan aset bangsa Indonesia, dan terkhusus masyarakat
Kaldera Toba perlu dilestarikan, dikembangkan warisan masa depan generasi
mendatang.
Oleh karena itu, siapapun yang berteriak keras dan lantang
tidak boleh sekali-sekali mengeksploitasi dan "memperkosa" Danau Toba
mewujudkan hasrat pemuas kepentingan dan kekuasaan atas nama individu, kelompok
maupun golongan, apalagi merasa paling berjasa dan istimewa.
Arogansi berpikir (pattang so malo, pattang so bilak) harus
segera dibuang dari pola pikir, pola tindak masyarakat kawasan Kaldera Toba.
Sebab, di era belakangan ini muncul fenomena berpikir dan
berperilaku, "Na pistar ndang tarparsiajaran, Na oto ndang ha ajaran
(pintar tak bisa dipelajari, bodoh tak mau diajari) sehingga muncul diskusi,
diskursus, perbincangan, perdebatan tak mutu berakibat buruk terhadap
percepatan pembangunan di kawasan Kaldera Toba.
Era percepatan pembangunan Kawasan Kaldera Toba kini sedang
mengarah positif melalui kebijakan konkrit Presiden Jokowi.
Pertanyaannya, SUDAH SIAPKAH STAKEHOLDERS DAN MASYARAKAT
KALDERA TOBA MENERIMA DAN MEMBERHASILKAN...???
.
Terima kasih Bapak Presiden Jokowi telah melihat,
mendengarkan, merasakan, dan merespons kerinduan Tano Batak selama ini. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial
budaya