WahanaNews.co | Di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, kelompok waria atau transpuan
berorganisasi untuk mengubah pandangan negatif sebagian masyarakat tentang
keberadaan mereka.
Baca Juga:
Transpuan yang Ditemukan Tewas Membusuk di Salon, Ternyata Dibunuh
Melalui organisasi Fajar Sikka, mereka yang memiliki
kenangan getir menjadi transpuan, saling menguatkan, berbaur bersama masyarakat
untuk berkegiatan sosial.
Di antara anggotanya adalah tiga bersaudara dari satu
keluarga yang menjadi transpuan.
Florensia Nona, 73 tahun, bersenda gurau bersama teman-teman
sebaya di bawah teduh pohon kersen, di pelataran rumah.
Baca Juga:
Dikira Mencuri, Transpuan di Bekasi Nyaris Dihakimi Masa
Mulutnya tak berhenti mengunyah kapur sirih yang dicampur
dengan buah pinang. Barisan giginya hitam pekat, tapi masih terlihat kokoh.
"Saya tiap hari masih berkebun, menanam kacang,"
katanya saat ditemui BBC News Indonesia di Desa Ipir, Kabupaten Sikka, NTT,
Selasa (14/07).
Florensia Nona memiliki delapan anak. Tiga perempuan. Lima
terlahir sebagai laki-laki, tapi tiga di antaranya, berubah menjadi perempuan
seiring waktu.
"Mereka sampai besar, rambutnya panjang. Mereka datang
ke dunia ini sebagai laki-laki. Tapi mereka duduk-duduk, dan lama-lama berjalan
dengan gemulai," katanya.
Sejak kecil, ketiganya memang tak pandai bekerja seperti
lazimnya laki-laki: berkebun. Tapi untuk pekerjaan rumah seperti memasak,
mereka jagonya, kata Florensia.
"Saya punya anak tiga banci ini, Tuhan yang buat,"
kata Florensia sambil tersenyum.
Sering Bertengkar
Putra pertama Florensia yang menjadi transpuan adalah
Ardianus yang kemudian akrab disapa Linda Ardian. Linda jarang pulang ke rumah
saat remaja, karena selalu bertengkar dengan bapaknya.
Bapaknya tak suka Linda belajar mengikat tenun, karena dia
mempercayai mitos yang berkembang di kampungnya bahwa lelaki yang menenun kain
kelak akan jadi sasaran serangan babi hutan.
"Bapak marah, jangan ikat tenun, nanti babi hutan
gigit. Makanya si Linda ini pergi. Tapi mama tidak marah," kata Florensia.
Bukan hanya itu, bapak juga marah dengan Linda, karena
membantu memasak di rumah.
"Bapak marah ini, sampai pukul. Sebab kamu ini laki, kenapa
seperti perempuan. Si Linda ini bilang, bapak jangan marah. Kami masak ini kan
untuk bapak," kenang Florensia.
Tapi, sejak bapak meninggal sembilan tahun lalu, segala
urusan adat istiadat keluarga kini diwakili oleh Linda. Mulai dari urusan
tanah, pernikahan hingga rapat pengambilan keputusan.
"Hanya yang Linda, bisa omong soal urusan rumah adat.
Sementara mereka yang dua (anak laki-laki) itu, belum bisa untuk urusan adat di
rumah," kata Florensia.
Florensia juga bercerita, suaminya kerap membedakan
perlakuan dua anak laki-laki lainnya dari tiga anak yang menjadi transpuan.
"Mereka tiga orang ini sudah jadi perempuan. Kamu dua
orang ini harus isap rokok, minum arak," kata menirukan ucapan mendiang
suaminya saat masih hidup.
Tapi bagaimana pun, Florensia mengatakan, "Mama sayang,
karena mereka anak kandung saya."
Anak kesayangan itu, Linda, saat ini bekerja sebagai penjaga
kos-kosan di Kota Maumere.
Bapak Mulai Melunak
Kenangan pahit masa kecil diperlakukan berbeda dari dua adik
laki-laki yang kini sudah menikah, masih membekas dalam ingatannya.
"Jadi waktu itu, adik (laki-laki) saya dua orang tak
pernah temanan (dengan) kita. Selalu dengan bapak, makan dengan bapak, isap
rokok dengan bapak. Sedangkan kami tiga orang itu selalu dengan mama," kata
Linda.
Selain itu, Linda juga dididik dengan keras untuk menjadi
laki-laki.
"Kadang saya dipukul, saya disiksa, kadang dikasih
telanjang, kadang dikasih botak rambut, tapi saya terima saja, saya tetap lawan
sama orangtua saya. Kalau mereka enggak mau, ya saya lawan, saya lari
sembunyi," kata Linda dengan suara bergetar.
Sikap bapaknya sempat melunak, saat Linda mulai bekerja
sebagai penjaga toko, dan membantu kehidupan keluarga.
"Jadi waktu itu bapak bilang, biar kamu jadi banci,
tapi kamu tetap kasih saya uang untuk kita hidup di rumah. Jadi waktu saya
kerja itu uang gaji saya itu selalu saya kasih ke bapak," kata Linda.
Hingga napas terakhir bapak, Linda tetap dengan pendirian
menjadi seorang transpuan. "Saya sudah memaafkan (bapak) waktu putus
napas. Cuma bapak pesan, tak boleh mencuri, tidak boleh berbuat sembarang,
berbuatlah baik kepada orang," kata Linda.
Linda merasakan menjadi seorang perempuan sejak duduk di
bangku sekolah dasar. Saat itu, ia menaruh hati dengan laki-laki, teman
sekelasnya.
"Jadi waktu itu, setelah berteman dengan dia. Saya
sudah merasa, saya ini benar-benar perempuan," kata Linda.
Tapi saat SD, Linda masih malu-malu untuk mendeklarasikan
diri sebagai seorang transpuan.
Tidak seperti adiknya, Lempianus Nong Pitoi yang sekarang
akrab disapa Lola Pitaloka.
Lola tak pernah merasakan bangku sekolah. Menurut Linda,
adiknya lebih leluasa untuk menjadi transpuan karena tak terbelenggu rasa malu
dari lingkungan sekolah.
"Saya yang duluan (jadi transpuan di keluarga), sejak
kecil itu sudah lenggak-lenggok. Sudah bermain (peran) perempuan.
Boneka-boneka. Masak-masak," ujar Lola.
Saat pertama kali melihat Linda bersolek dan menggunakan
pakaian perempuan, Lola mengaku sempat terkejut.
"Bukan karena saya yang ada, atau saya yang suruh
seperti saya. Harus berdandan seperti saya, harus bergaya seperti perempuan.
(Datang) dengan sendirinya," kata Lola.
Mereka berdua jarang berbagi bercerita tentang perubahan
diri menjadi transpuan. Tapi ada kalanya, mereka bertengkar karena masalah
kosmetik dan pakaian.
"Pernah bertengkar, karena baku rampas bedaknya. Pensil
alisnya. Ini saya punya. Ini saya punya, tak boleh pinjam. Beli, kau punya
sendiri," kata Lola sambil tersenyum, mengenang masa remaja bersama
kakaknya.
Dulu, keduanya juga kompak saling memberi peringatan ketika
bapak sedang marah di rumah, termasuk berbagi tempat persembunyian untuk
bersolek dan berpakaian perempuan.
Tiga Keponakan
Anak lelaki yang menjadi transpuan berikutnya adalah
Serpinus Nong Essy, sekarang disapa Essy Moff. Tapi ia sudah lama merantau ke
Kalimantan, dan belum kembali ke kampung halaman.
Florensia Nona bukan hanya memiliki tiga anak, tapi juga
punya tiga keponakan yang menjadi transpuan�"sepupu dari Linda, Lola dan Essy.
Salah satunya, Petrus Peter Song atau akrab dipanggil
Chintya Datores. Ia mengaku sudah merasa menjadi perempuan saat duduk di bangku
sekolah dasar.
Sampai akhirnya, beranjak remaja, Lola mengajak Chintya
bekerja di sebuah salon di Kota Maumere. Dari sinilah, ia mulai terbiasa
berdandan dan menggunakan pakaian perempuan.
"Kebiasaan Kakak Lola ajarin seperti itu, saya bangun,
mandi, saya berdandan, saya berpakaian perempuan, sudah saya duduk manis di
depan (salon)," kata Chintya
Dari titik ini pula, Chintya mulai bergaul dengan komunitas
transpuan di Kabupaten Sikka dan memulai usaha salon sendiri, termasuk
memproduksi tenun ikat.
"Saat itu sudah bisa bekerja mencari uang untuk biaya
kehidupan papa dan mama," katanya.
Dari keluarga besar transpuan ini, Lola yang paling aktif
berorganisasi di Fajar Sikka. Chintya mendapat bantuan pemasaran produksi tenun
ikatnya dari Fajar Sikka, dan Linda sesekali ikut berkumpul untuk arisan atau
kegiatan berdoa bersama.
Riwayat Fajar Sikka
Pagi menjelang siang. Teras sekretariat Fajar Sikka yang
berada di Kota Maumere hampir tertutup kiriman barang kebutuhan sehari-hari:
beras, minyak, gula, bumbu dapur, mie instan, sampai sabun.
Lola ikut mengemas barang-barang tersebut menjadi
bungkusan-bungkusan kecil.
Bungkusan ini akan dibagikan kepada puluhan keluarga
terdampak Covid-19 di daerah pelosok, bagian Timur Kota Maumere.
Setelah selesai mengepak, Lola menyapu keringat di dahi
dengan tisu. Sesekali bercermin, memastikan make up di wajahnya tidak luntur.
Mobil jemputan pun tiba. Ia bersama pengurus Fajar Sikka pun
duduk manis di atas mobil bak yang dimodifikasi tempat duduknya dengan kayu.
Warga penerima bantuan sembako sudah berkumpul di salah satu
rumah.
Senyum dan tawa terkembang menghiasi wajah mereka, saat Lola
mulai membuka pertemuan dengan menyanyikan sebuah lagu daerah"
"Tambah lagi, Kak!" teriak beberapa warga,
menandakan mereka tak cukup dihibur satu lagu.
'Artis' dari Fajar Sikka pun hanya bisa menghela napas, tapi
juga senyum-senyum malu mendapat perhatian dari warga. "Okeh, satu lagu
lagi ya," kata Lola diiringi tawa dan tepuk tangan dari warga.
Selama masa pandemi covid-19, Fajar Sikka lebih banyak
beraksi mengelola bantuan sembako dari dan untuk masyarakat, termasuk berkampanye
tentang protokol Covid-19 dengan berkeliling kampung, sambil membagikan masker
gratis.
Dengan bergabung di Fajar Sikka, Lola ingin mengubah stigma
masyarakat terhadap transpuan. Ini juga berangkat dari pengalaman pahit menjadi
transpuan 'pangkalan', yang kerap mendapat kekerasan. "Pernah disiram oli
kotor, bahkan sampai air kencing, disiram," katanya.
"Saya bergabung di Fajar Sikka, saya kepingin berubah,
tidak seperti dulunya lagi, tidak nyebong (mangkal) di jalan. Dengan bergabung
di Fajar Sikka ini, jadi kita tuh mau menunjukkan kelakuan yang baik, ya kita
dihargai begitu oleh masyarakat," kata lola.
Salah satu penerima bantuan, Fransiska Kondeja Solapung
mengaku komunitas transpuan ini yang pertama memberinya sembako selama pandemi.
"Dengan keadaan kami ini, rasa terharu. Kami rasa senang, ada perhatian
dari waria ini," katanya.
Penduduk Desa Talibura belum lama ini diterjang banjir,
termasuk menjadi wilayah dengan tingkat kasus demam berdarah yang tinggi.
Pendiri sekaligus Ketua Fajar Sikka, Hendrika 'Bunda Mayora'
mengatakan sasaran penerima bantuan sembako sudah disurvei terlebih dahulu.
"Orang-orang betul-betul yang terdampak, sudah kami observasi, sudah kami
ansos (analisa sosial), pergi lihat, dan survei, kami bantu," katanya.
Penyaluran sembako ini bukan yang pertama. Penyaluran
sembako ini sudah dilakukan beberapa kali selama masa pandemi.
Bantuan sembako ini berasal dari para donatur, yang
mempercayai Fajar Sikka dalam mengelola dan mendistribusikan untuk mereka yang
terdampak Covid-19.
"(Para donatur) melihat aksi-aksi kami melalui akun
Facebook yang saya unggah, mereka lihat, bukan hanya waria, dari sekian banyak
waria yang kami tolong, tetapi juga beberapa teman-teman disabilitas, mama-mama
janda, lansia yang kami bantu," kata Mayora.
Fajar Sikka dirintis 2018 lalu. Berawal dari kelompok doa
yang diberi nama 'Gembala Baik', organisasi ini kemudian berkembang,
'berinklusi' dengan masyarakat.
Kegiatan Fajar Sikka beragam. Mulai berkeliling kampung
mengajar anak-anak, membantu pesta perkawinan warga, penyuluhan pertanian, doa
bersama sampai arisan. Sebagian kegiatan masih berlangsung di masa pandemi.
Sekarang anggotanya hampir mencapai 45 orang, baik dari
kalangan transpuan dan transman di Kabupaten Sikka. Umumnya, anggota Fajar
Sikka menjadi tulang punggung keluarga; menyekolahkan adik-adik, belanja
bulanan rumah, sampai merawat orangtua yang sudah renta di rumah.
36 tahun baru punya
KTP
Pandemi Covid-19 ini juga memukul usaha kelompok transpuan di
Kabupaten Sikka. Salon tutup karena sepi pelanggan, pesanan katering makanan
mandek, dan penjualan tenun ikat, seret.
Selain aktivitas membantu mengelola dan mendistribusikan
sembako, Fajar Sikka juga mengadvokasi anggotanya memperoleh Kartu Tanda Penduduk
(KTP).
Selama ini, transpuan di Kabupaten Sikka kesulitan memiliki
KTP. Permasalahannya, karena mereka kabur atau terusir dari rumah, tanpa
membawa identitas diri, kehilangan KTP selama di rantau, sampai enggan mengurus
karena minder menjadi transpuan.
"Saya resmi jadi warga negara Indonesia setelah umur 36
tahun," kata anggota Fajar Sikka, Marianus Juni Migo, atau akrab disapa
Cece sambil tertawa kecil.
Cece, salah satu anggota Fajar Sikka yang dibantu
komunitasnya untuk memperoleh KTP.
Tim advokasi dari Fajar Sikka berkali-kali mendatangi kantor
dinas catatan sipil setempat, mendesak agar pejabat setempat mengeluarkan KTP
untuk warganya.
Cece yang baru pertama kali punya KTP, selama ini kesulitan
memperoleh kartu identitas tersebut setelah merantau ke Kota Maumere dari tanah
kelahiran di Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
"Saya anak pertama, adik-adik sudah berkeluarga semua.
Jadi adik-adik sudah punya kartu keluarga, saya sendiri yang belum. Orangtua
sudah almarhum," katanya.
Sekretaris Fajar Sikka, Andreas Nong Johan yang akrab disapa
Yolanda mengatakan, KTP menjadi persoalan mendasar bagi transpuan. Tanpa KTP,
mereka selama ini kesulitan mencari kerja, mendapat pinjaman modal usaha hingga
mendapatkan bantuan sosial di masa pandemi.
"Kalau untuk pinjam modal ke bank, ke koperasi ke
lembaga keuangan kan butuh identitas yang lengkap," kata Yolanda.
Dalam masa pandemi, tim advokasi Fajar Sikka juga mengurusi
bantuan sosial dari pemerintah untuk anggotanya yang mengalami kesulitan
ekonomi.
"Kami ambil data untuk program BST (bantuan sosial
tunai) yang langsung kami urus di kantor dinas sosial. BST itu untuk pertama,
kami beberapa orang yang kami urus kurang lebih ada 15 orang itu dapat
semua," kata Yolanda.
Fajar Sikka telah menjadi matahari terbit di tengah pandemi.
Ketuanya, Mayora mengatakan akan membawa organisasi ini menjadi contoh bahwa
transpuan juga punya sisi bersolidaritas di tengah keberagaman Indonesia.
"Fajar Sikka akan menjadi rumah, menjadi tempat yang
aman dan damai, tempat kami berbagi, tempat kami berekspresi, tempat kami bisa
mencurahkan kemampuan seluruh keberadaan diri kami," kata Mayora. [qnt]