Oleh: Drs. Thomson Hutasoit
Baca Juga:
Mama Dada Mu Ini Dada Ku
Sekitar tahun 60 hingga 70-an ketika jalur transportasi
belum selancar saat ini, bahkan masih ada daerah tidak kenal warna aspal alias
jalan masih belum bisa dilintasi moda transportasi sehingga bila masyarakat ke
pekan (onan) atau pasar tradisional harus jalan kaki puluhan kilometer untuk
menjual produk pertanian sekaligus membeli kebutuhan rumah tangga seperti garam
(sira), ikan asin (gulamo), dll untuk kebutuhan sekali satu minggu.
Baca Juga:
Perseteruan Kandidat Penghuni Sorga
Pasar tradisional sekali satu minggu memaksa masyarakat
harus pergi ke pekan sekalipun harus menjinjing atau memikul berbagai komoditi
dengan jalan kaki menempuh puluhan kilometer dengan kaki telanjang.
Kisah suram dan pahit masa lalu masih segar dalam memori
berusia 65-70-an tahun saat ini terutama masyarakat jauh dari episentrum
perkotaan atau daerah terisolasi infrastruktur jalan.
Para ibu-ibu atau emak-emak sekali-sekali membeli ikan laut
atau ikan tawar untuk merubah rasa atau selera yang biasanya membeli ikan asin
untuk kebutuhan satu minggu.
Sebagai masyarakat memegang teguh etika sopan santun dan
tradisi adat budaya selalu menjaga agar tidak timbul ketersinggungan atau
amarah orang dan/atau pihak lain maka tidaklah elok bila si pembeli bertanya
langsung kepada penjual apakah ikan yang dijualnya masih segar atau mulai busuk
maka ibu-ibu atau emak-emak membuat satu cara elegan dan halus untuk mengetahui
apakah ikan masih segar atau mulai busuk.
Ibu-ibu atau emak-emak mengambil ikan dan menciumnya. Lantas
si penjual ikan bertanya mengapa mencium ikan itu, lalu si pembeli memberi
jawaban ingin mengetahui kabar keluarganya di seberang. Padahal dia sudah tahu
sebenarnya bahwa ikan itu sudah mati dan tak mungkin ikan bisa berbicara
memberi kabar keluarganya.
Setelah si pembeli mencium ikan tersebut maka dia tahu ikan
masih segar atau busuk sebab "Ikan busuk dimulai dari kepala".
Ikan busuk dimulai dari kepala sesungguhnya adalah analogi
tentang kepemimpinan di segala segmen kehidupan, baik keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Jika diperhatikan cermat dan seksama kerusakan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara sesungguhnya akibat kealpaan keteladanan
kepemimpinan tak mampu jadi contoh tauladan, panutan untuk memberi contoh yang
baik dan benar kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Ketika seorang pemimpin tidak mampu memberi contoh yang baik
dan benar kepada bawahan atau yang dipimpin maka aneka kerusakan akan timbul
beranak-pinak dan tidak ada memberi teguran atau sanksi karena pemimpin berbuat
tak baik dan tak benar juga.
Pameo korupsi berjamaah yang sering diperbincangkan di ruang
publik menggambarkan rangkaian kebiasaan tak benar dimulai dari pimpinan
tertinggi hingga bawahan terendah. Salah satu contoh ialah kebiasaan atau
budaya setoran ke atas ataupun suap dari bawahan ke atasan demi mengamankan dan
melanggengkan posisi tertentu.
Tradisi atau kebiasaan setor ke atasan sesungguhnya ialah
membiasakan tak benar sehingga tindakan seperti itu dianggap tidak salah lagi.
Membenarkan kebiasaan budaya setor, suap sesungguhnya sumber
akar korupsi karena pemimpin mengamini tradisi itu di masyarakat, bangsa dan
negara.
Bila pemimpin beraksioma, berikhtiar membiasakan kebenaran
menolak keras segala tindakan melawan hukum dan norma seperti; korupsi, setoran, suap,
penyelewengan jabatan maka bawahan takut melakukan segala tindakan melawan
hukum.
Menyelesaikan permasalahan bangsa harus dimulai dari
pimpinan memberi keteladanan kepemimpinan agar bawahan mengikuti dan menurut
karena kerusakan dimulai dari kepala atau pimpinan sebagaimana peribahasa
klasik "Ikan busuk dimulai dari kepala".
Peran strategis pemimpin sangat menentukan baik buruknya
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Bangsa Indonesia menganut budaya patronisme, manut, menurut,
mengikut kepada orang tua, senioritas menuntut keteladanan kepemimpinan role
model bagi bawahan atau yang dipimpin.
Bila pimpinan bersih, jujur, transparan, akuntabel,
berintegritas akan dipanut, diturut, diikuti bawahan atau yang dipimpin.
Sebaliknya bila pimpinan koruptif, kolutif, nepotif, senang setoran, suap,
pungli, melanggar hukum, dll maka bawahan atau yang dipimpin akan berbuat hal
yang sama.
Bukankah peribahasa klasik mengatakan "Guru kencing berdiri murid kencing
berlari"...??? Menegaskan bila pimpinan tak becus maka bawahan atau yang
dipimpin akan amburadul...???
Disinilah arti strategis dan fundamental memilih pemimpin dengan cermat, cerdas,
selektif untuk mengemban amanah kepercayaan menghadirkan harapan publik.
Bukan asal-asalan, ceroboh, emosional tanpa mempertimbangkan
rekam jejak (track record) prestasi kinerja, rekam jejak digital bersih, jujur,
berani, profesional, kredibel, kapabel, transparan, akuntabel, mumpuni dan
berintegritas.
DIRGAHAYU HUT KEMERDEKAAN RI KE 76, SALAM INTROSPEKSI DIRI, HORAS.....!!!
MERDEKA.....!!! Medan, 10 Agustus 2021. (tum)
Penulis adalah pemerhati pembangunan dan sosial
budaya