WahanaNews.co | Hingga detik ini,
hanya ada 4 perempuan Indonesia yang pernah menerima kalungan medali emas
Olimpiade di lehernya.
Terakhir, duet ganda putri bulutangkis Indonesia, Greysia Polii dan
Apriyani Rahayu, melakukannya di Olimpiade Tokyo 2020, pada Senin (2/8/2021).
Baca Juga:
Leani Ratri Oktila Terima Bonus Paralimpik Rp 13,5 Miliar dari Pemerintah
Sebelumnya, di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Liliyana Natsir
melakukannya bersama pasangannya, Tontowi Ahmad, saat menjuarai nomor ganda
campuran.
Tapi, tentu saja, yang terasa sangat istimewa adalah apa yang dilakukan
Srikandi Bulutangkis Indonesia, Susi Susanti, tepat 29 tahun silam, 4 Agustus
1992, di Olimpiade Barcelona.
Istimewa, karena Susi menjadi orang Indonesia pertama yang berjaya
meraih medali emas dalam sejarah keikutsertaan negeri ini di ajang Olimpiade
sejak Helsinki 1952.
Baca Juga:
Paralimpiade 2020: Hary/Leani Raih Emas Kedua RI
Lebih istimewanya lagi, Susi sukses membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di panggung
Olimpiade Barcelona 1992 tanpa mengantungi Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Ironis? Ya, sangat.
Airmata Susi Susanti, yang mengucur saat Indonesia Raya berkumandang mengiringi medali emas Olimpiade
Barcelona 1992 yang berkalung di lehernya, ibarat lelehan darah merah dan sumsum
putihnya di tengah diskriminasi rezim Orde baru (Orba).
Berikut kisah lengkapnya Sang Ratu Bulutangkis Indonesia, Susi Susanti,
di Olimpiade Barcelona 1992.
Di Bawah Tekanan Luar Biasa
Tepat 29 tahun lalu, 4 Agustus 1992, Susi Susanti meraih medali emas Olimpiade pertama Indonesia.
Lagu Indonesia Raya yang berkumandang di acara puncak Olimpiade
Barcelona 1992 membuat Susi menangis.
Pada hari itu, Susi Susanti berhadapan
dengan pebulutangkis Korea Selatan, Bang Soo-hyun.
Di tengah tekanan luar biasa untuk
juara, Susi bingung dengan ritme permainannya.
Bang berhasil unggul di awal
pertandingan, karena berhasil mengatur ritme
permainan.
Padahal, Susi lebih unggul dari Bang,
bila melihat rekor pertemuan mereka.
Di gim kedua, Susi Susanti bangkit, dan mulai menemukan tempo permainan.
Gim kedua berhasil ia menangkan,
sehingga pertandingan berlanjut ke rubber
game.
"Akhirnya bisa sampai gim ketiga.
Dari sini, saya mulai yakin, saya lebih unggul fisik, dia tidak pernah
menang melawan saya kalau rubber game,"
ujar Susi, dilansir dari badminton.org.
"Ibaratnya, saya ini mesin diesel, makin lama makin panas," imbuhnya.
Akhirnya, Susi menang dengan skor
5-11, 11-5, 11-3.
Jerih payahnya selama ini berbuah.
Lalu, masyarakat Indonesia menyaksikan
Susi Susanti berdiri di puncak podium Olimpiade dengan leher terkalung medali
emas.
Saat lagu Indonesia Raya terdengar di seluruh sudut stadion, Susi Susanti
menangis berderai-derai.
Tangis Susi Susanti dan kebanggan
masyarakat Indonesia itu menjadi legenda hingga saat ini.
Namun, ada hal-hal yang jarang
diketahui di balik kisah manis itu.
Perjuangan Susi
Susi Santi lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 11 Februari 1971.
Dengan dukungan penuh orangtuanya,
Susi berlatih bulutangkis sejak kecil.
Ia menghabiskan waktu 7 tahun berlatih
di klub milik pamannya, PB Tunas Tasikmalaya.
Setelah itu, ia pindah ke Jakarta pada
1985.
Pada tahun yang sama, Susi Susanti
meraih gelar juara World Championship
Junior di usia 14 tahun.
Gelar itu ia rengkuh dengan
menaklukkan para pebulutangkis junior di nomor tunggal putri, ganda putri, dan
ganda campuran.
Kemudian, Susi pindah ke PB Jaya Raya
untuk lebih serius menekuni bulutangkis.
Langkah Susi pun makin jauh.
Pada rentang 1987-1991, ia setidaknya meraih 19 gelar juara di tingkat dunia maupun Asia Tenggara.
Dengan capaian itu, Susi membidik emas
Olimpiade Barcelona, di mana bulutangkis menjadi cabang olahraga resmi untuk pertama kalinya.
Walau telah meraih banyak gelar juara,
Susi tak lelah berlatih.
Kontingen Indonesia bisa berlatih
hingga pukul 22.00 setiap hari.
"Waktu persiapan Olimpiade, kami latihan tiga kali. Memang ekstra, ada
tambahan latihan, fokus, lalu banyak strategi-strategi yang dipersiapkan
seperti analisis kelemahan dan kelebihan dari masing-masing
atlet yang akan menjadi lawan kami," kenang Susi kepada wartawan, Kamis (24/6/2021).
Namun, Susi mengaku kerap melakukan
latihan tambahan bersama pasangannya, Alan Budikusuma, atau penghuni pelatnas lainnya.
Ia juga menyiapkan mentalnya, karena tekanan untuk juara begitu tinggi.
Seluruh kerja keras itu akhirnya
terbayar, ia meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992.
Tekanan yang ia rasakan selama
Olimpiade Barcelona pun terangkat.
Susi mengaku, setiap orang yang
menemuinya berharap ia juara di turnamen terakbar dunia itu.
"Saya kalau juara tidak pernah
selebrasi. Pada Olimpiade 1992, pertama kali saya langsung berteriak. Rasanya
beban saya, tanggung jawab saya, lepas semua," tutur Susi, dikutip dari badminton.org.
Tak cuma itu, Susi mengawinkan medali
emas nomor tunggal putri dengan medali emas nomor tunggal putra dari Alan
Budikusuma.
"Pasangan Emas ini" memberi kado manis
bagi masyarakat Indonesia jelang HUT RI tahun 1992.
Diskriminasi Orba
Susi boleh jadi pahlawan bagi
Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.
Akan tetapi, diskriminasi pada dirinya
sebagai anggota etnis Tionghoa, tak juga surut.
Diskriminasi itu bahkan dilindungi
Orde Baru lewat Inpres Nomor 14 Tahun 1967.
Akibatnya, etnis Tionghoa tak bisa
bebas hidup.
Pada saat Susi Susanti hendak menikah
dengan Alan Budikusuma, mereka pun mengalami masalah.
Mereka kesulitan mengurus izin
pernikahan, karena tak
memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
SKBRI juga buah tangan Suharto.
Presiden RI ke-2 itu
mengesahkan Keppres Nomor 5 Tahun 1996 sebagai landasan SKBRI.
Warga Tionghoa pun mesti memiliki
SBKRI untuk mengurus dokumen khusus.
Masalah kewarganegaraan dan SBKRI ini
juga dialami Susi.
Ia mengaku bolak-balik ke pengadilan
untuk mengurus SBKRI.
Namun, ia tak kunjung mendapatkannya,
meski telah mengharumkan nama Indonesia di Olimpiade.
Masalah serupa juga dialami banyak
orang etnis Tionghoa.
Pelatih Pelatnas PBSI era 1980, Tong
Sinfu dan Liang Tjiu-Sia, juga
kesulitan mendapatkan SBKRI.
Tjiu Sia perlu menunggu 2 tahun untuk
mendapatkan dokumen itu pada 1989, meski ia telah berjasa bagi Indonesia.
Sementara, Tong Sin Fu malah tak juga
mendapat SBKRI.
Padahal, ia berjasa mencetak banyak
atlet papan atas, seperti Alan Budikusuma, Hariyanto Arbi, dan Joko Suprianto.
Karena memikirkan nasib keluarganya,
Tong Sinfu akhirnya memutuskan menerima kewarganegaraan China.
Ketika masalah kewarganegaraan Susi
ini ramai jadi perbincangan di media, barulah pemerintah Orba pun mempercepat pengurusan SBKRI Susi. [dhn]