WahanaNews.co, Jakarta - Katedral Canterbury jadi lokasi acara disko. Meskipun acaranya 'silent disco', tetap saja itu membuat umat Kristen meradang.
Sebanyak 750 orang memadati Katedral Canterbury pada akhir pekan lalu untuk menghadiri acara silent disco yang bertemakan musik-musik 1990-an. Acara ini memang tidak seperti acara disko pada umumnya.
Baca Juga:
Viral Turis AS Takjub Lihat KRL Jakarta, Singgung Stasiun New York yang Jorok
Dalam acara silent disco, pengunjung akan menikmati alunan musik disko dari headphone masing-masing yang diputarkan oleh DJ. Jadi suasana di sana akan tetap senyap.
Namun pengunjung tetap mengangguk-angguk ataupun bergoyang mengikuti irama musik yang keluar dari headphone yang mereka kenakan. Itulah mengapa acara ini disebut silent disco alias disko diam.
Meski acaranya sunyi senyap, umat Kristen di Inggris kabarnya marah atas acara tersebut. Mereka tidak terima tempat ibadahnya digunakan sebagai tempat ajojing.
Baca Juga:
Kasus Penipuan, Trump Dihukum Denda Rp 5,5 Triliun dan Dilarang Berbisnis di New York
"Kami tidak ingin ada pesta penuh minuman beralkohol, sambil mendengarkan musik Eminem di Rumah Tuhan," protes Dr Cajetan Skowronski, selaku perwakilan pendemo, seperti dikutip dari New York Post, Jumat (16/2/2024).
Skowronski menyebut tidak ada agama lain di dunia yang bakal menggunakan bangunan suci, seperti Katedral Canterbury, sebagai tempat acara musik disko. Acara musik disko seperti itu, diyakini Skowronski, akan membuat umat Nasrani kehilangan keimanannya.
"Disko dan pesta seperti itu bagus, tapi hanya jika digelar di tempat yang semestinya. Di kelab malam bagus, tapi Katedral Canterbury tidak dibangun untuk acara ini," semprot Skowronski.
Acara disko itu memberlakukan tiket masuk kepada para pengunjungnya. Per orang wajib membayar tiket sebesar 31 poundsterling atau sekitar Rp 609 ribu.
Skorownski akan menggerakkan sekitar 30 umat kristiani lainnya untuk menggelar demo damai untuk memprotes pimpinan katedral yang mengizinkan acara disko digelar di bangunan bersejarah tersebut.
"Jika kita tidak melawan, kuil kuno kami ini akan berubah menjadi kelab malam betulan. Dan keimanan Kristen di negara ini akan musnah. Kami akan menjaga tempat ini seusai dengan fungsi aslinya, sebagai tempat untuk memuja Tuhan," pungkas Skorownski.
Sebuah jajak pendapat pun digelar mengenai acara silent disco tersebut. Hasilnya, sebanyak 54 persen warga setempat ternyata setuju dengan event disko tersebut. Sementara itu, 46 persen sisanya menolak event disko di Katedral Canterbury.
"Katedral akan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, lebih luas dari fungsi utamanya sebagai pusat pemujaan agama Kristen. Acara dansa dan berbagai acara lainnya pernah digelar di katedral ini selama berabad-abad. Di Alkitab juga bahkan merayakan penobatan Raja David. Saya akan pastikan acara ini tetap layak dan menghormati katedral," balas Dr Monteith, pimpinan Katedral Canterbury.
[Redaktur: Alpredo Gultom]