WahanaNews.co | Selama beberapa dekade, monosodium glutamat (MSG) aliat vetsin atau micin jadi salah satu bahan penyedap rasa yang populer di dunia.
Meski demikian, MSG juga sering dihindari banyak orang karena berbagai mitos yang penuh kontroversi.
MSG merupakan penyedap yang berasal dari bahan alami seperti, rumput laut, tapioka, dan juga fermentasi tebu.
Baca Juga:
Pemkab Karo dan Forkopimda Peringati Hari Bela Negara ke-75, Tingkatkan Rasa Cinta Tanah Air
Mengutip laman Eat This Not That, 4 dari 10 orang Amerika dilaporkan secara aktif menghindari MSG pada 2018. Namun, semakin banyak ahli nutrisi yang melawan stigma buruk seputar MSG. Banyak yang mengatakan bahwa reputasi buruk tentang micin didasari rasisme anti-Asia.Berikut ini beberapa fakta mengejutkan tentang MSG yang perlu Anda ketahui:
1. Sejarah reputasi buruk MSG
Baca Juga:
Hadiri Perayaan Natal Oikoumene, Wabup Karo: Mari Kita Tingkatkan Rasa Keimanan
Micin memiliki reputasi buruk karena sindrom restoran China yang muncul pertama kali di Amerika Serikat. Sebuah surat tentang 'sindrom restoran Cina' yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 1968, memicu kekhawatiran tentang konsumsi MSG.
Sindrom ini pertama kali dikemukakan oleh Robert Ho Man Kwok. Ia melaporkan merasa mati rasa di bagian belakang lehernya dan berbagai kelemahan umum setelah makan di restoran China di Amerika Serikat. Dalam hal ini ia menyebut kemungkinan penyebabnya adalah MSG yang ditambahkan dalam makanan. Dia juga menulis bahwa kemungkinan penyebabnya adalah MSG yang ditambahkan ke makanan.
Semenjak itu, para ilmuwan meneliti gejala yang diduga terkait dengan tambahan MSG dalam makanan, seperti sakit kepala, berkeringat, mual dan nyeri dada. Sebuah studi tahun 1969 pada tikus menemukan bahwa tikus yang diberi MSG dalam jumlah tinggi mengembangkan lesi otak, obesitas, dan gangguan endokrin. Studi lebih lanjut membuat klaim bahwa MSG dapat menyebabkan masalah pada jantung dan hati, serta perubahan perilaku dan bahkan tumor.
Meski demikian, klaim dari hasil riset tersebut sering dikaitkan sebagai perilaku rasis terhadap etnis China. Sebab, faktanya di tahun-tahun itu MSG sedang populer di AS. Saking populernya, pada tahun 1969 Amerika Serikat memproduksi 58 juta pon MSG per tahun dan memasukkannya ke dalam berbagai makanan.
2. Penelitian MSG yang lebih akurat
Pada kenyataannya, banyak penelitian awal tentang MSG yang kurang akurat. Menurut sebuah studi tahun 2020, sebagian besar penelitian menunjukkan efek yang seharusnya berbahaya penuh dengan desain yang buruk dan ukuran sampel yang kecil.
Belakanga, banyak penelitian terkini mengungkap fakta yang berbeda dan jauh lebih positif seputar micin. Misalnya, Food and Drug Administration (FDA) telah menempatkan MSG dalam kategori "GRAS" alias "umumnya diakui aman" selama bertahun-tahun hingga sekarang.
Menurut FDA, sains belum mampu secara konsisten memicu gejala buruk dari konsumsi MSG, bahkan pada orang yang mengaku memiliki sensitivitas MSG.
Sebuah tinjauan sistematis tahun 2016 dalam Journal of Headache Pain tidak menemukan korelasi antara makan makanan tinggi MSG dan berkembangnya sakit kepala. Meskipun ada beberapa klaim yang terdengar menakutkan bahwa MSG dapat menyebabkan kematian sel-sel otak, bukti ilmiah tidak menunjukkan hal tersebut.
3. Bagaimana dengan sensitivitas MSG?
MSG dianggap aman untuk mayoritas orang, tetapi seperti halnya makanan apa pun, mungkin saja ada sensivitas tertentu pada sebagian orang. Kurang dari 1% dari populasi masyarakat umum diperkirakan memiliki sensitivitas MSG.
Bagi orang-orang tersebut, konsumsi MSG dalam jumlah besar dapat menyebabkan gejala yang tidak menyenangkan seperti pusing, sakit kepala, kesulitan bernapas, atau mati rasa. Jika Anda terus-menerus mengalami gejala seperti ini setelah makan makanan tinggi MSG, sebaiknya kurangi konsumsi micin.
4. Potensi positif dari konsumsi MSG
MSG sebenarnya bisa berdampak positif pada tubuh Anda. Karena rasanya yang gurih, MSG bisa menjadi alternatif penyedap rasa selain garam.
Sebuah studi tahun 2017 dalam jurnal Food Science and Nutrition menemukan bahwa, dalam makanan olahan dan buatan sendiri, MSG dapat mengurangi natrium tanpa mempengaruhi persepsi rasa asin. Kandungan natrium MSG hanya 12 persen dibandingkan garam yang mencapai 36 persen, sehingga garam lebih mungkin menyebabkan hipertensi bagi para konsumennya. [qnt]