WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena yang belakangan ramai diperbincangkan di media sosial ini seolah membuka tirai atas realitas baru dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia: semakin mudahnya mahasiswa mendapatkan IPK tinggi, bahkan hingga predikat cumlaude.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar institusi pendidikan? Apakah ini buah dari kerja keras mahasiswa, atau justru hasil kompromi sistemik demi menjaga citra kampus?
Baca Juga:
Berbagi Keberkahan Ramadhan, DPD IPK Dairi Santuni Yatim Piatu
Akun komunitas @pndemct*lks menyoroti soal "inflasi" IPK mahasiswa di Indonesia, dengan mengacu pada data yang menunjukkan bahwa rata-rata IPK nasional pada tahun 2024 telah mencapai 3,59.
Artinya, mayoritas mahasiswa kini lulus dengan predikat cumlaude, yang diberikan pada mereka yang memperoleh IPK minimal 3,51 dari skala tertinggi 4,00.
Contoh konkret datang dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto. Di kampus ini, rata-rata IPK dari 13 fakultas di sana. Hasilnya, rata-rata IPK tahun 2020 tercatat 3,373; tahun 2021 meningkat jadi 3,475; dan pada 2022 melonjak ke 3,691. Kenaikan ini dinilai terlalu signifikan untuk dianggap sebagai tren alami semata.
Baca Juga:
Indeks Persepsi Korupsi RI 34, TKN: di Zamannya Megawati Paling Tinggi 19
Pengamat pendidikan Edi Subkhan dari Center of Curriculum for Social Change Studies sekaligus dosen Universitas Negeri Semarang menyebut, IPK sudah tak lagi menjadi indikator utama dalam menilai kualitas lulusan.
"Tiada lagi kejutan jika mendengar mahasiswa lulus dengan IPK 4,00. Sekarang hampir semua kampus punya lulusan summa cumlaude," ujar Edi, melansir Kompas.com, Sabtu (28/6/2025).
Menurutnya, fenomena ini erat kaitannya dengan upaya kampus mempercantik citra mereka.
"Ini penting untuk citra kampus agar menarik minat calon mahasiswa, sekaligus memoles wajah kampus agar lulusannya dilirik dunia kerja. Tapi ketika rata-rata IPK terlalu tinggi, masyarakat dan dunia kerja akhirnya lebih menilai nama dan reputasi kampus, bukan sekadar IPK," jelas Edi.
Padahal, dalam pemeringkatan global, IPK bukanlah faktor utama. Lembaga penilai lebih memperhatikan hasil riset, kontribusi teknologi, hingga kiprah lulusan di masyarakat.
Lebih lanjut, Edi mengungkap sejumlah penyebab terjadinya inflasi IPK, mulai dari kompetisi antar-kampus, sistem akreditasi, hingga survei kepuasan mahasiswa yang diadopsi dari dunia korporasi.
"Kompetisi bebas antar-kampus membuat mereka berlomba mendongkrak citra. Cara cepatnya? Dorong dosen beri nilai tinggi, baik dalam mata kuliah biasa maupun skripsi," bebernya.
Daripada membangun atmosfer akademik berkualitas, yang memerlukan dana dan sistem kuat, kampus cenderung memilih jalan pintas. Salah satunya lewat survei kepuasan mahasiswa. Edi menjelaskan bahwa dosen yang ketat cenderung mendapat penilaian rendah, sementara yang ‘murah hati’ dalam memberi nilai cenderung disukai.
"Model survei seperti ini membuat dosen terdorong memberi nilai bagus agar mendapatkan penilaian baik dari mahasiswa. Nilai bagus dari mahasiswa bisa berdampak langsung pada tunjangan dan evaluasi kinerja dosen," paparnya.
Tak hanya itu, sistem akreditasi juga memacu kampus mengejar angka.
Salah satu indikator yang dinilai adalah persentase mahasiswa lulus tepat waktu dan memiliki IPK tinggi.
“Beberapa tahun terakhir, ada percepatan studi demi akreditasi unggul. Untuk itu, mahasiswa didorong cepat-cepat menyelesaikan skripsi, menulis jurnal, atau sekadar menyumbang book chapter dan prototype. Ini berdampak pada penurunan mutu karya ilmiah,” ungkap Edi.
Konsekuensinya, semangat berkompetisi di kalangan mahasiswa memudar. Apalagi dengan kehadiran kecerdasan buatan yang sering dijadikan penolong dalam menyelesaikan tugas.
“Ketika dosen terlalu mudah memberi nilai tinggi, mahasiswa pun cenderung tak belajar dengan sungguh-sungguh. Bahkan ada yang mengandalkan AI, padahal kapasitas otaknya belum tentu setara dengan hasil tugasnya,” kata Edi.
Ia menilai perlu adanya reformasi sistemik dalam dunia kampus. Menurutnya, kualitas dosen tidak seharusnya diukur dari survei kepuasan, melainkan melalui pendekatan pedagogis yang lebih tepat.
"Dunia pendidikan punya teori sendiri untuk menilai penilaian profesional dosen. Tak perlu pinjam teknik survei pelanggan ala korporasi yang justru membuat nilai mahasiswa melambung tidak realistis. Sistem akreditasi juga harus berani meninggalkan orientasi pada angka IPK dan kelulusan semata," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]