WahanaNews.co | Dunia pendidikan Swiss melakukan hal berbeda di tahun ajaran baru 2023 yang berbeda pada tahun sebelumnya.
Banyak guru mulai memberikan buku cetak, waktu membaca yang tenang, dan latihan menulis dengan tangan pada siswanya.
Guru-guru memberikan waktu lebih sedikit untuk menggunakan tablet, penelitian online independen, dan keterampilan mengetik.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Cara belajar yang kembali lebih tradisional ini merupakan respons politikus dan pakar mengenai apakah pendekatan pendidikan yang sangat digital, termasuk pengenalan tablet di taman kanak-kanak telah menyebabkan penurunan keterampilan dasar.
Menteri Sekolah Swedia Lotta Edholm, yang menjabat 11 bulan lalu sebagai bagian dari pemerintahan koalisi kanan-tengah yang baru, merupakan salah satu kritikus terbesar terhadap penggunaan teknologi.
“Siswa Swedia membutuhkan lebih banyak buku pelajaran. Buku fisika penting untuk pembelajaran siswa," kata Edholm dikutip dari laman AP, Senin (18/9/2023).
Edholm mengumumkan dalam sebuah pernyataan pemerintah ingin membatalkan keputusan Badan Pendidikan Nasional yang mewajibkan perangkat digital di prasekolah.
Pemerintah juga berencana melangkah lebih jauh dan sepenuhnya mengakhiri pembelajaran digital untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun.
Kemampuan membaca siswa di negara tersebut berada di atas rata-rata Eropa.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Penilaian internasional terhadap tingkat membaca kelas 4, Progress in International Reading Literacy Study, menyoroti penurunan di kalangan anak-anak Swedia antara tahun 2016 dan 2021.
Pada 2021, siswa kelas 4 di Swedia memperoleh rata-rata 544 poin, turun dari rata-rata 555 pada 2016. Namun, kinerja mereka masih menempatkan negara tersebut setara dengan Taiwan untuk nilai ujian keseluruhan tertinggi ketujuh.
Sebagai perbandingan, Singapura, yang menduduki peringkat teratas, meningkatkan skor membaca PIRLS dari 576 menjadi 587 pada periode yang sama. Sementara itu, rata-rata skor pencapaian membaca Inggris hanya turun sedikit dari 559 pada 2016 menjadi 558 pada 2021.
Beberapa alasan defisit pembelajaran dapat disebabkan pandemi covid-19 atau meningkatnya jumlah siswa imigran yang tidak bisa berbahasa Swedia sebagai bahasa ibu mereka.
Namun, penggunaan layar secara berlebihan selama pelajaran di sekolah dapat menyebabkan anak-anak tertinggal dalam mata pelajaran inti, kata pakar pendidikan.
“Ada bukti ilmiah yang jelas bahwa alat-alat digital justru merugikan, bukannya meningkatkan pembelajaran siswa,” ujar Institut Karolinska Swedia dalam sebuah pernyataan mengenai strategi digitalisasi nasional negara tersebut dalam bidang pendidikan.
“Kami yakin fokusnya harus kembali pada perolehan pengetahuan melalui buku teks cetak dan keahlian guru, daripada memperoleh pengetahuan terutama dari sumber digital yang tersedia secara bebas dan belum diperiksa keakuratannya,” ucap institut yang juga sekolah kedokteran terkemuka yang berfokus pada penelitian itu.
Pesatnya adopsi alat pembelajaran digital juga telah menimbulkan kekhawatiran dari badan pendidikan dan kebudayaan PBB. Dalam laporan yang diterbitkan bulan lalu, UNESCO mengeluarkan “seruan mendesak untuk penggunaan teknologi yang tepat dalam pendidikan”.
Laporan tersebut mendesak negara-negara untuk mempercepat koneksi internet di sekolah, namun pada saat yang sama memperingatkan bahwa teknologi dalam pendidikan harus diterapkan sedemikian rupa.
Sehingga, tidak menggantikan pengajaran tatap muka yang dipimpin oleh guru dan mendukung tujuan bersama yaitu pendidikan berkualitas bagi anak-anak.
Di ibu kota Swedia, Stockholm, Liveon Palmer, yang berusia 9 tahun, siswa kelas tiga di sekolah dasar Djurgardsskolan setuju menghabiskan lebih banyak jam sekolah secara offline.
“Saya lebih suka menulis di sekolah, seperti di atas kertas, karena rasanya lebih baik lho,” kata dia kepada AP saat berkunjung baru-baru ini.
Gurunya, Catarina Branelius, mengaku selektif dalam meminta siswa menggunakan tablet selama pelajaran bahkan sebelum pengawasan tingkat nasional.
“Saya menggunakan tablet dalam matematika dan kami membuat beberapa aplikasi, namun saya tidak menggunakan tablet untuk menulis teks,” kata Branelius.
Dia mengatakan siswa di bawah usia 10 tahun “membutuhkan waktu dan latihan serta latihan menulis tangan sebelum Anda memperkenalkan mereka untuk menulis di tablet,”
Pengajaran online adalah subjek yang hangat diperdebatkan di seluruh Eropa dan negara-negara Barat lainnya. Polandia misalnya, baru saja meluncurkan program untuk memberikan laptop yang didanai pemerintah kepada setiap siswa mulai kelas empat dengan harapan menjadikan negara tersebut lebih kompetitif secara teknologi.
Sementara itu, di Amerika Serikat, pandemi Covid-19 mendorong sekolah negeri menyediakan jutaan laptop yang dibeli dengan dana bantuan pandemi federal kepada siswa sekolah dasar dan menengah.
Namun, masih ada kesenjangan digita yang menjadi salah satu alasan sekolah-sekolah di Amerika cenderung menggunakan buku teks cetak dan digital, kata Sean Ryan, presiden divisi sekolah AS di penerbit buku teks McGraw Hill.
“Di tempat-tempat yang tidak memiliki konektivitas di rumah, para pendidik enggan menggunakan teknologi digital karena mereka memikirkan kelompok yang paling rentan (siswa) dan memastikan mereka memiliki akses yang sama terhadap pendidikan seperti orang lain,” kata Ryan.
Sedangkan Jerman, yang merupakan salah satu negara terkaya di Eropa, terkenal lamban menyebarkan program pemerintah dan segala jenis informasi secara online, termasuk pendidikan. Kondisi digitalisasi di sekolah juga berbeda-beda di 16 negara bagian, yang bertanggung jawab atas kurikulumnya masing-masing.
Banyak siswa dapat menyelesaikan sekolah mereka tanpa instruksi digital apa pun yang diperlukan, seperti coding. Beberapa orang tua khawatir anak-anak mereka mungkin tidak mampu bersaing di pasar kerja dengan generasi muda yang lebih terlatih secara teknologi dari negara lain.
Sascha Lobo, seorang penulis dan konsultan Jerman yang berfokus pada internet, berpendapat upaya nasional diperlukan untuk meningkatkan kecepatan pelajar Jerman atau negara tersebut akan berisiko tertinggal di masa depan.
“Jika kita tidak berhasil menjadikan pendidikan digital, mempelajari cara kerja digitalisasi, maka kita tidak akan lagi menjadi negara makmur 20 tahun dari sekarang,” kata Sascha.
Adapun untuk mengatasi penurunan kinerja membaca di kelas 4 SD di Swedia, pemerintah Swedia mengumumkan investasi senilai 685 juta kronor (60 juta euro atau USD64,7 juta) dalam pembelian buku untuk sekolah-sekolah di negara tersebut tahun ini. Sementara itu, 500 juta kronor lainnya akan dibelanjakan setiap tahun pada 2024 dan 2025 untuk mempercepat pengembalian buku pelajaran ke sekolah.
Tidak semua pakar yakin upaya kembali ke dasar yang dilakukan Swedia semata-mata bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi siswa. Seorang profesor pendidikan di Monash University di Melbourne, Australia, Neil Selwyn, menilai mengkritik dampak teknologi adalah langkah populer di kalangan politisi konservatif.
“Ini adalah cara yang tepat untuk mengatakan atau menandakan komitmen terhadap nilai-nilai tradisional," ujar dia.
“Pemerintah Swedia mempunyai alasan yang sahih ketika mengatakan tidak ada bukti teknologi dapat meningkatkan pembelajaran, namun menurut saya hal tersebut terjadi karena tidak ada bukti langsung mengenai apa yang berhasil dengan teknologi tersebut,” ujar Selwyn.
“Teknologi hanyalah salah satu bagian dari jaringan faktor pendidikan yang sangat kompleks,” tutup dia lagi.
[Redaktur: Zahara Sitio]