WAHANANEWS.CO, Jakarta - Industri jalan tol di Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, Pemerintah melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum (PU), meminta Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk memberikan diskon tarif tol sebesar 20 persen pada ruas-ruas utama selama periode libur akhir tahun (22 Des 2025-10 Jan 2026) sebagai stimulus ekonomi.
Di sisi lain, laporan mendalam dari Asosiasi Tol Indonesia (ATI) mengungkap krisis keuangan tersembunyi yang menghambat keberlanjutan model bisnis pengusahaan jalan tol.
Baca Juga:
Prabowo Siapkan Stimulus Ekonomi: Diskon Transportasi hingga BSU Kembali Bergulir
Dalam surat resmi kepada Kementerian PU Nomor 90/ATI/X/2025, ATI mengusulkan sebuah grand bargain, sepakat memberikan diskon tarif dengan syarat Pemerintah mengetok palu insentif fiskal strategis untuk menyelamatkan industri ini.
Industri Jalan Tol di Ambang Krisis
Kajian Post Investment Review ATI yang melibatkan 39 BUJT memberikan data yang mengejutkan tentang tidak menariknya model bisnis tol saat ini.
Baca Juga:
90 Persen Pelanggan PLN Kabupaten Sumedang dan Majalengka Akan Nikmati Stimulus Diskon Tarif Listrik 50 persen
Profitabilitas operasi 54 persen BUJT dalam kondisi negatif, yang berdampak krusial tidak mampu menutupi biaya operasional murni (opex) dan kewajiban bunga pinjaman.
Demikian halnya dengan Return on Asset (ROA) yang hanya 0,02 persen, sangat lemah dan jauh di bawah ekspektasi industri sekitar 10 persen-20 persen.
Sementara, akumulasi keuntungan atau retained earning berbading invested capital minus 25 persen.
Ini artinya BUJT masih menanggung kerugian sebesar 25 persen dari total modal yang sudah diinvestasikan senilai Rp 668 triliun. Sedangkan target equity payback 27 tahun operasi rata-rata BUJT.
Artinya, retained earning positif BUJT baru akan terjadi setelah 27 tahun beroperasi, bahkan ada yang diprediksi tidak akan kembali modal hingga konsesi berakhir. Menurut ATI, tingginya biaya konstruksi yang melonjak 16 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir, termasuk tambahan 15 persen biaya fiskal dan 15 persen cost of funding, dikombinasikan dengan kegagalan pemenuhan asumsi trafik awal, adalah penyebab BUJT merugi.
Diskon Tarif vs Insentif Pajak Triliunan
Oleh karena itu, ATI setuju untuk memberikan diskon tarif maksimal 20 persen dengan catatan kewenangan tetap di masing-masing BUJT, namun sebagai imbalannya Pemerintah melakukan intervensi fiskal radikal.
Intervensi itu berupa:
A. Insentif PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan)
ATI mengusulkan penghapusan atau pengurangan PBB-P2 berdasarkan usia operasi tol, 0-10 tahun operasi 0 persen PBB-P2, dan 10-20 tahun operasi dikenakan 50 persen PBB-P2.
Kemendagri menanggapi positif dan berpotensi menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk Pemda terkait pembebasan/pengurangan PBB-P2.
B. Insentif Pajak
Lainnya Penghapusan PPN konstruksi dan pemeliharaan, mengingat tidak ada net-off pajak masukan/keluaran di jalan tol. ATI juga mengusulkan tax allowance/holiday disesuaikan dengan nilai investasi proyek, dan masa manfaat loss carry forward tax diperpanjang minimal menjadi 10 tahun.
Aturan Baru SPM
Di luar isu fiskal, Kementerian PU dan BUJT juga sedang menyusun Peraturan Menteri (Permen) SPM Jalan Tol terbaru untuk memperketat kualitas layanan. ATI mengusulkan BPJT dapat menunjuk atau didampingi konsultan independen dalam pengecekan laporan Standar Pelayanan Minimum (SPM), sebelumnya hanya tim PU, dan hasil evaluasi wajib menjadi informasi publik.
Sanksi berupa denda administratif diberikan setelah 3 kali teguran tertulis terlampaui. Denda sebesar 1‰ (satu per mil) dari nilai pekerjaan konstruksi yang diperlukan untuk perbaikan atas setiap hari keterlambatan.
BUJT berhak mendapatkan kompensasi jika kerusakan jalan tol diakibatkan oleh kendaraan Over Dimension Over Loading (ODOL).
Kepala BPJT Kementerian PU, Wilan Oktavian, menanggapi isu ini dengan menekankan pentingnya koordinasi terkait potensi intervensi untuk menjaga keberlanjutan industri.
"Nanti kami koordinasikan," ujar Wilan, melansir Kompas.com, Rabu (12/11/2025).
Namun, Wilan juga memberikan catatan penting mengenai batasan kewenangan BPJT "Tapi intervensi fiskal bukan kewenangan kami juga sih," imbuhnya.
Hal ini menggarisbawahi bahwa solusi intervensi fiskal seperti pemberian subsidi atau penjaminan risiko, berada di ranah kementerian keuangan atau komite kebijakan lainnya, bukan sepenuhnya wewenang BPJT sebagai regulator teknis.
Apakah Masih Prospektif?
Lepas dari tuntutan ATI dan tanga-an BPJT, apakah industri jalan tol di Indonesia, yang telah menjadi tulang punggung percepatan infrastruktur selama satu dekade terakhir, masih prospektif?
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Danang Parikesit, dalam analisisnya, memberikan sudut pandang yang lebih holistik dan strategis.
Kepada Kompas.com, Danang Parikesit menegaskan bahwa investor jalan tol harus memiliki perspektif jangka panjang dan tidak hanya fokus pada posisi arus kas (cash flow) saat ini.
Jalan tol adalah aset infrastruktur dengan masa konsesi panjang 35 hingga 50 tahun. Di sisi lain, sebagian besar jalan tol di Indonesia baru dibangun dalam periode sepuluh tahun terakhir.
Jadi, menurut Danang, ajar jika mayoritas jalan tol baru ini memiliki arus kas yang masih negatif. Hal ini disebabkan oleh besarnya biaya investasi awal dan periode ramp-up (peningkatan volume lalu lintas) yang membutuhkan waktu.
"Yang harus jadi perhatian investor dan pemerintah adalah growth-nya, bukan cash flow position hari ini," tegas Danang.
Investasi jalan tol juga harus dilihat sebagai aset dengan siklus yang lebih panjang, berbeda dengan construction play atau commodities play.
Strategi investasi (playbook) bagi investor jalan tol seharusnya mencakup, stable growth (pertumbuhan yang stabil), positive upside (potensi keuntungan positif di masa depan), dan capturing land value increase (menangkap peningkatan nilai tanah di sekitar jalan tol.
Danang juga mempertanyakan ekspektasi ROA industri jalan tol yang mencapai 10-20 persen. Angka ini mungkin terlalu tinggi untuk industri infrastruktur jangka panjang yang cenderung stabil, bukan berisiko tinggi (high-risk, high-return).
Nilai sebenarnya dari industri ini terletak pada stabilitas dan durasi konsesi yang panjang. Meskipun perspektif jangka panjang memberikan angin segar, Danang mengakui bahwa jika data finansial terus mengkhawatirkan, mungkin diperlukan perubahan.
"Saya harus lihat lagi datanya, tapi kalau memang perlu new business model, sebenarnya pemerintah dapat melakukan review. Hal ini karena bagi pemerintah, sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dari layanan jalan tol ini," tuntas Danang.
[Redaktur: Alpredo Gultom]