WahanaNews.co, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) menjadi salah satu fokus pemerintah dalam upaya pengendalian inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat.
“Kami terus memfokuskan karena pangan bergejolak, selain berkontribusi signifikan terhadap inflasi inti, juga langsung mempengaruhi daya beli masyarakat. Jadi, kami akan terus merumuskan langkah APBN sebagai shock absorber dalam rangka menjaga daya beli masyarakat, terutama pada saat momentum perekonomian global melemah, kita harus melindungi dari sisi domestik,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (30/1/2024) melansir ANTARA.
Baca Juga:
Kendalikan Inflasi, Kemendagri Minta Pemda Segera Beri Insentif Fiskal PBBKB
Seperti diketahui, perekonomian global diproyeksikan bakal melambat. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari sebelumnya 3 persen pada 2022 menjadi hanya 2,5 persen pada 2023 dan kembali melemah menjadi 2,4 persen pada 2024 ini. Dengan demikian, situasi pada 2024 lebih lemah dibandingkan 2023.
Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menyalurkan bantuan sosial (bansos) sebagai salah satu instrumen. Pada 2023, anggaran bansos mencapai Rp476 triliun, lalu naik sebesar Rp20 triliun menjadi Rp496 triliun pada 2024.
Dana tersebut digunakan untuk berbagai program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 9,9 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan Kartu Sembako untuk 18,7 juta KPM.
Baca Juga:
Sekda Sulbar Ajak Pemerintah Daerah Perkuat Sinergi Kendalikan Inflasi di Wilayah
Menkeu mengatakan peningkatan anggaran bansos senilai Rp20 triliun itu telah dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disetujui menjadi Undang-Undang (UU) APBN.
Meski begitu, Sri Mulyani menggarisbawahi intervensi APBN dalam mengendalikan harga pangan bergejolak tidak hanya melalui program bansos. Intervensi juga dilakukan melalui anggaran ketahanan pangan, yang tercatat sebesar Rp104,2 triliun pada tahun lalu dan Rp114,3 triliun pada tahun ini.
Anggaran itu digunakan untuk meningkatkan produksi, kesejahteraan petani, membangun infrastruktur pertanian, mengembangkan sentra-sentra produksi, hingga menguatkan cadangan pangan nasional.