Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Baca Juga:
Taliban: Tugas Wanita Itu Melahirkan, Bukan Jadi Menteri
SEJARAH berulang di
Afghanistan.
Ibu kota Kabul, untuk kedua kalinya, jatuh ke tangan
kelompok Taliban, hari Jumat (13/8/2021).
Baca Juga:
Taliban Izinkan Perempuan Afghanistan Kuliah, Tapi…
Pada 26 September 1996, kelompok oposisi bersenjata
ini, merebut Kabul.
Ketika itu, mereka menyingkirkan Presiden Burhanuddin
Rabbani; sebelumnya mereka menggantung Presiden Mohammad Najibullah yang dicap
sebagai bonekanya Uni Soviet.
Proses kejatuhan Kabul, beberapa hari lalu, seperti mengulang
yang terjadi pada 1996.
Sebelum merebut Kabul, kelompok fundamentalis ini
menguasai Kandahar.
Dari Kandahar, mereka bergerak ke utara merebut Kabul.
Sekarang pun demikian.
Jatuhnya Kabul, memaksa Presiden Ashraf Ghani
meninggalkan Afghanistan mencari selamat.
Dulu, setelah merebut Kabul, mereka memberi nama
baru Afghanistan, yakni Emirat Islam Afganistan.
Demikian pula kini.
Setidaknya, ada empat hal yang "mempermudah" Taliban merebut
kembali Kabul.
Pertama, pemerintah Karzai dan kemudian juga Ashraf
Ghani dianggap tak efektif, tak mampu meningkatkan kualitas hidup, tak mampu
menjamin keamanan bila tanpa bantuan AS dan NATO.
Pemerintah Afghanistan digerogoti korupsi akut.
Dalam Corruption
Perceptions Index 2020, Afghanistan peringkat 165 dari 180 negara, dengan skor 19.
Kedua, keputusan AS dan NATO, penopang utama
keamanan, menarik pasukan dari Afganistan.
Pasukan AS secara penuh akan ditarik pada 11 September
2021.
Ketiga, digelarnya perundingan perdamaian dengan AS,
menjadi semacam alasan bagi Taliban memandang diri mereka sendiri dan AS
sebagai pemegang kekuasaan riil di Afganistan.
Apalagi, Taliban selalu mempertanyakan legitimasi dan
kredibilitas pemerintah Kabul yang dibentuk dan dikontrol kekuatan asing (Felix
Kuehn, 2018).
Dengan kata lain, Taliban tidak menganggap pemerintah
Kabul.
Keempat, lahirnya "generasi baru" Taliban, atau yang sering
disebut "neo-Taliban", pada 2002, yang berbeda dengan "Taliban lama"
(1994-2001).
Mereka melakukan adaptasi taktis dan strategis.
Ideologi mereka pun mengalami evolusi.
Mereka berusaha memoderasi kebijakannya dan menjadikan
diri mereka sebagai gerakan kemerdekaan arus utama (Alia Brahimi; 2010).
Pertanyaannya, apa setelah menguasai Kabul dan
mendirikan pemerintahan baru, mereka akan menerapkan kebijakan berdasarkan
agama dengan sangat keras, kaku, dan ketat serta bertekad menyebarkan
ideologinya ke seluruh Timur Tengah dan kawasan lain?
Dulu, ketika berkuasa, Taliban melarang musik, televisi,
radio, games, bentuk-bentuk hiburan lain.
Mereka melarang wanita bekerja di luar rumah, melarang
anak-anak perempuan bersekolah dan menutup sekolah, melarang kaum wanita keluar
rumah kecuali ditemani oleh suami, ayah, saudara laki-laki, atau anak
laki-laki.
Di depan umum, wanita harus menutup seluruh tubuhnya
dari kepala hingga kaki.
Ini pengaruh Wahabisme, bukan adat Afganistan
(Barfield, Thomas, 2008).
Para lelaki harus mengenakan turban, berjanggut
panjang, rambut pendek, dan mengenakan pakaian tradisional shalwar kameez.
Bila tak menaati, dihukum.
Taliban mengklaim bisa memulihkan perdamaian dan
keamanan di Afghanistan setelah pendudukan Uni Soviet dan perang saudara,
melalui penerapan hukum syariah yang ketat.
"Neo-Taliban"
Taliban --bahasa Pashto, yang berarti murid atau siswa-- muncul tahun 1980-an
dalam bentuk front gerilyawan Taliban.
Mereka bergabung dengan partai Mujahidin, Harakat-i
Enqelab-i Islami (Gerakan Revolusi Islam), melawan pasukan
pendudukan Uni Soviet (1979-1989).
Tahun 1992 terlibat perang saudara (Antonio Giustozzi,
2011).
Dengan menggunakan nama Taliban (jamak dari talib), mereka ingin
mengambil jarak dari politik Mujahidin dan mengisyaratkan mereka adalah gerakan
untuk membersihkan masyarakat, dan bukannya partai yang hanya mencari kekuasaan.
Maka, tujuan didirikannya Taliban adalah untuk
memulihkan perdamaian, menegakkan hukum syariah, dan mempertahankan karakter
Islam Afganistan (Andrew R Smith, 2011).
Tetapi, kenyataannya, pada November 1994,
mereka menjadi gerakan fundamentalis dan muncul sebagai kekuatan politik dan
militer.
Mereka tak lagi menggunakan taktik gerilya, melainkan
menjadi pasukan semi-reguler untuk melakukan pertempuran konvensional.
Gerakan ini beranggotakan para siswa, pemuda pedesaan
etnis Pashtun (di Afghanistan Selatan dan Barat), berpendidikan rendah, miskin,
yang sebagian besar direkrut dari kamp-kamp pengungsi dan sekolah agama,
madrasah di Pakistan (Maryam Jami, 2020).
Kelahiran kelompok ini mendapat dukungan Pakistan,
yang berusaha mengamankan rute perdagangan ke Asia Tengah.
Setelah merebut Kabul (1996), mereka berkuasa
hingga disingkirkan AS pada 2001.
Meski kekuasaannya diruntuhkan AS, lewat Operation Enduring Freedom, mereka tak
mati, hanya kehilangan kekuasaan.
Mereka yang sebagian besar berasal dari suku Pashtun,
dengan mudah menyelamatkan diri, karena mendiami dua wilayah sekaligus:
Afghanistan dan wilayah barat-laut Pakistan.
Maka, ketika tersingkir dari Afghanistan, kelompok
militan garis keras Taliban masuk ke kawasan Pegunungan Hindu Kush dan wilayah
suku-suku di North Western Frontier
Province (NWFP) Pakistan; sementara yang moderat bergabung dengan
masyarakat hanya dengan memotong janggut dan tak lagi berjubah panjang (Shehzad
H Qazi, 2011).
Tetapi, pelan-pelan, mereka berkumpul
kembali dan mengonsolidasikan kekuatan di perbatasan Pakistan.
Mereka benar-benar menjadi "musuh dalam selimut".
Gerakan Taliban yang dimulai di Pakistan pada 2002
inilah yang menjelma menjadi "neo-Taliban".
Mereka banyak berasal dari kelompok dan suku lokal
Pakistan dari Federally Administered
Tribal Areas (FATA).
Dengan pengecualian beberapa pemimpin kunci, sebagian
besar "Taliban lama" awalnya tak bergabung dengan gerakan ini.
Namun, kemudian bergabung kembali setelah usaha mereka
bergabung dengan pemerintah Karzai tak dipedulikan.
Yang membedakan dengan "Taliban lama" adalah kelompok
baru ini berasal dari unsur yang beragam, tak hanya "sisa-sisa laskar Taliban".
Mereka merekrut sekutu secara nasional.
Dengan demikian, mereka menerima siapa saja yang
memiliki pandangan sama terhadap pasukan pendudukan, pemerintah Kabul, dan
mematuhi aturan yang telah ditetapkan, tanpa memandang etnis dan suku, tak
harus etnis Pashtun.
Karena itu, anggota "neo-Taliban" ini berasal dari
grup-grup lokal, partai-partai politik, grup-grup jihad, komponen-komponen suku
berbeda-beda.
Maka, Thomas Ruttig (2010) menyebut, "secara organisasi,
Taliban adalah jaringan dari jaringan."
Dalam rumusan lain, dapat dikatakan, "neo-Taliban"
tidak lain adalah gerakan monolitik dan bersatu.
Mereka bukanlah kelompok yang bersatu dengan satu visi
untuk Afghanistan, tidak seperti Taliban tahun 1990-an.
Strategi perjuangan "neo-Taliban" pun meninggalkan
strategi lama yang hanya mengandalkan pada kekuatan senjata.
Mereka telah mengembangkan apa yang disebut sebagai
"perang generasi keempat".
"Peperangan generasi keempat" menggunakan semua
jaringan yang tersedia --politik, ekonomi, sosial, dan militer.
Itulah mengapa mereka mau, antara lain, berunding
dengan AS.
Mereka memperbaharui taktik dan strategi perjuangan.
Misalnya, membuat "outlet media yang canggih, yang memproduksi ribuan DVD dan rekaman-rekaman inspirasi.
Taliban juga menggunakan situs web, stasiun radio FM dan email, serta para juru
bicara mereka pun melayani wawancara dengan wartawan di Pakistan" (Andrew R
Smith, 2011).
Suatu hal yang ditabukan di masa lalu.
Yang juga membedakan dengan "Taliban lama" adalah sifat
ideologis "neo-Taliban" dualistik, menampilkan struktur organisasi vertikal
dalam bentuk supra-tribal dan supraetnik, Islamis, dan nasionalis.
Namun, struktur horizontalnya tetap ditentukan oleh
jaringan yang berakar pada masyarakat suku Pashtun.
Mereka, "neo-Taliban", inilah yang beberapa
hari silam merebut Kabul dan mendepak pemerintah lama dan mendirikan Emirat
Islam Afghanistan.
Perlu Diwaspadai
Keluwesannya --termasuk memperbaharui taktik dan strategi, serta
memperluas komponen organisasi-- menjadi faktor keberhasilan mereka merebut Kabul.
Karena itu, perubahan taktik dan strategi dalam
perjuangannya --menggunakan segala cara dan sarana termasuk teknologi
komunikasi dan informasi modern-- mesti diwaspadai, termasuk oleh
Pemerintah Indonesia.
Sebab, seperti NIIS dulu yang menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi modern untuk menyebarkan ajaran, ideologi, propaganda,
juga rekrutmennya.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi modern
sekarang ini, mereka bisa dengan mudah menyebarkan fundamentalisme, ekstremisme
dan talibanismenya ke mana saja, termasuk ke Indonesia yang sebagian
masyarakatnya masih mudah terpukau oleh hal-hal yang berbau atau dibungkus
agama. (Trias
Kuncahyono, Wartawan Senior)-dhn
Tulisan ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia".
Link untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/20/afganistan-neo-taliban-indonesia/.