WahanaNews.co | Masyarakat etnis Rohingya yang memilih tetap bertahan di Rakhine State, Myanmar, hidup tanpa harapan dan mimpi masa depan.
Maung Soe Naing menceritakan kisah hidupnya setelah sang ibu memintanya untuk tinggal.
Baca Juga:
Polres Subulussalam Berhasil Amankan Tiga Orang Terduga Pelaku TPPO Rohingya
Ia memutuskan untuk tidak bergabung dengan sesama Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras brutal oleh militer Myanmar lima tahun lalu.
Dia masih tinggal di tempat yang dia sebut rumah tetapi terjebak di sana oleh pembatasan gerakan yang berat.
Dia telah berhenti merencanakan masa depan, perlahan-lahan membiarkan rumahnya hancur.
Baca Juga:
Kemenag Kabupaten Aceh Barat Telusuri Pasangan Rohingya Nikah di Lokasi Penampungan
Operasi militer pada 2017 mendorong lebih dari 740.000 pengungsi Rohingya menuju negara tetangga, Bangladesh, membawa penderitaan akibat pembunuhan, pembakaran, dan pemerkosaan dalam tindakan keras yang sejak itu dikatakan Amerika Serikat sebagai genosida.
Sekitar 600.000 orang Rohingya yang tetap berada di Myanmar ditempatkan di kamp-kamp setelah mengungsi akibat kekerasan sebelumnya, atau hidup dalam keadaan genting di desa mereka di bawah belas kasihan militer dan penjaga perbatasan.
Sebagian besar ditolak kewarganegaraannya dan tunduk pada pembatasan pergerakan, perawatan kesehatan, dan pendidikan mereka.
Sebuah perlakuan yang disebut Human Rights Watch sama dengan apartheid.
Maung Soe Naing sedang bekerja jauh dari rumah ketika tentara dan etnis Buddha Rakhine mulai mengamuk di desa-desa Rohingya sebagai tanggapan atas serangan yang dilakukan para gerilyawan Rohingya pada 25 Agustus 2017.
"Saya bahkan tidak bisa berdiri diam karena takut," jelasnya kepada AFP, menggunakan nama samaran karena risiko mendapat kekerasan akibat berbicara kepada media internasional.
Seorang teman asli Rakhine membantu Maung Soe Naing bersembunyi dari pasukan keamanan sebelum dia bertemu kembali dengan ibunya sebulan kemudian.
"Saya tinggal untuk ibu saya karena dia menangis di telepon karena takut dia tidak akan dapat melihat saya di masa depan jika saya melarikan diri," ungkapnya.
Harapan apa pun bahwa kehidupan akan membaik setelah kekerasan pupus.
Pihak berwenang telah "membatasi pergerakan kami lebih dari sebelumnya dan kesempatan kerja serta koneksi terputus," ujarnya.
"Setelah 2017, kami memiliki begitu banyak kisah tragis ... itu menjadi seperti beban," tambahnya.
Dia berhenti melakukan perbaikan rumahnya setiap musim hujan karena takut akan dirusak lagi dalam tindakan keras di waktu mendatang.
"Kami tidak punya masa depan," terang Maung Soe Naing.
Rohingya Tidak Bisa Pergi Begitu Saja
Zarni Soe, seorang Rohingya berusia 22 tahun dari Rakhine utara, juga menerjang keluar dari “pertumpahan darah” dengan harapan dia bisa menemukan kehidupan normal di rumahnya setelah itu.
Dia sempat lulus ujian sekolah menengah tetapi akses pendidikannya diblokir dari bangku universitas di negara bagian.
"Kami dibatasi dalam setiap aspek kehidupan kami," jelas Zarni Seo.
Akses ke perawatan khusus dan darurat untuk Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Rakhine tengah sangat terbatas, kata Marjan Besuijen, kepala misi Medecins Sans Frontieres (MSF) di Myanmar.
"Bahkan ketika pasien MSF membutuhkan perawatan darurat, beberapa enggan pergi setelah mendengar cerita diskriminasi dan penganiayaan yang dialami Rohingya di fasilitas," paparnya.
Maung Soe Naing mengatakan, Rohingya "selalu berpikir untuk meninggalkan negara ini".
"Tetapi pada saat yang sama, kami tidak bisa pergi begitu saja karena mereka (militer Myanmar) menahan kami dan menghentikan kami bepergian," ujarnya.
Iklim keamanan Myanmar memburuk pada Februari tahun lalu ketika militer melancarkan kudeta, menggulingkan pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, dan kemudian melancarkan tindakan keras berdarah terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat.
Sejak kudeta, pasukan keamanan telah menangkap sekitar 2.000 Rohingya termasuk ratusan anak-anak karena "perjalanan tidak sah", menurut Human Rights Watch.
Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim sering menjadi tujuan pilihan bagi mereka yang mencoba meninggalkan Myanmar.
Banyak yang mengambil kesempatan dengan bekerja sama bersama para pedagang dalam perjalanan berbahaya melalui darat atau menggunakan perahu berbulan-bulan di laut.
Pada Mei 2022, jasad 14 orang terdampar di pantai di barat daya Myanmar, yang diprediksi oleh badan pengungsi PBB, UNHCR, sebagai orang-orang Rohingya.
Orang Tanpa Mimpi
Kembalinya Myanmar ke tangan pemerintahan militer tahun lalu, semakin meredupkan harapan untuk setiap jalan orang-orang Rohingya menuju kewarganegaraan yang sah atau pelonggaran pembatasan saat ini.
Tindakan keras junta terhadap perbedaan pendapat telah "memperburuk situasi kemanusiaan, terutama bagi komunitas etnis dan agama minoritas, termasuk Rohingya," kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pada Rabu (24/8/2022).
"Kelompok itu tetap berada di antara populasi yang paling rentan dan terpinggirkan di negara ini," tambahnya.
Kepala Junta, Min Aung Hlaing --yang merupakan kepala angkatan bersenjata selama penumpasan Rohingya pada 2017-- telah menolak identitas Rohingya sebagai "imajiner".
Menurut Besuijen dari MSF, bagi mereka yang berada di kamp, tidak mungkin untuk pulang ke desa-desa mereka.
"Bahkan jika mereka bisa pindah, banyak desa dan komunitas tempat mereka dulu tinggal (menjadi) tidak ada lagi," ungkap Besuijen.
"Kami tidak memiliki masa depan atau harapan di negara ini di mana ada kebencian rasial yang sangat mendalam terhadap kami," kata Maung Soe Naing.
“Kami ingin hidup bermartabat dan dengan standar hidup seperti orang lain. Tapi kita menjalani hidup kita seperti orang tanpa mimpi,” kata Zarni Soe. [gun]