WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan di Timur Tengah kian membara. Dunia kini menanti keputusan besar Presiden Amerika Serikat Donald Trump: akankah ia mengerahkan militernya untuk membantu Israel menyerang Iran?
Dalam pernyataan singkat kepada wartawan, Trump menjawab ambigu, “mungkin ya, mungkin tidak.”
Baca Juga:
Harga Tanah di SCBD Tembus Rp 300 Juta per Meter, Investor Berebut Lahan
Jawaban itu menambah spekulasi bahwa Amerika Serikat bisa saja kembali terlibat dalam konflik besar, meskipun sebelumnya Trump berjanji tidak akan menyeret AS ke perang yang dirancang pihak lain.
Tekanan dari dalam negeri pun membelah opini publik AS.
Ada yang mendorong keterlibatan militer demi mendukung sekutu lamanya, Israel, namun tak sedikit yang memperingatkan risiko terseret ke medan perang yang bisa menghancurkan stabilitas global.
Baca Juga:
Resmi! Veronica Tan Jadi Komisaris Citilink, Ini Sosok-Sosok Baru Pengendali Maskapai
Melansir Antara, Sementara itu rezim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terang-terangan menyimpan ambisi menghancurkan Iran.
Targetnya tak hanya menghentikan program nuklir Teheran, melainkan juga pergantian rezim, sebuah misi yang diibaratkan seperti operasi penumbangan Saddam Hussein di Irak pada 2003.
Behnam Ben Taleblu, analis dari Foundation for Defense of Democracies, menilai bahwa sejak awal operasi Israel terhadap Iran bukan sekadar misi anti-proliferasi senjata. “Sudah jelas operasi ini lebih dari itu,” ujarnya kepada Vox.
Namun, tuduhan yang dilontarkan Israel dan Trump terhadap Iran belum disokong bukti kuat.
Bahkan, Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard menegaskan bahwa Iran masih memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa memproduksi senjata nuklir.
Namun Trump tetap menuding Teheran berada di ambang bahaya.
Faktanya, laporan terbaru Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tak menyatakan Iran melanggar kesepakatan nuklir.
Lembaga itu hanya menyebut Iran belum menjelaskan keberadaan fasilitas yang tidak dilaporkan.
Tapi Israel menggunakan temuan ini sebagai dalih menyerang pada 12 Juni 2025, sebuah aksi yang memicu gelombang serangan balasan dari Iran.
Pertanyaannya kini: apakah menggulingkan Iran semudah menjungkalkan Saddam Hussein? Banyak analis meragukan.
Iran bukan Irak. Iran punya kekuatan militer tangguh, bahkan berhasil menghujani Israel dengan rudal, sesuatu yang belum pernah dilakukan negara lain sejak Israel berdiri.
Iran juga tidak sendiri. Negara ini telah menjadi bagian dari jaringan strategis Rusia dan China.
Bagi Rusia, Iran bukan sekadar sekutu. Letaknya strategis, berada di bawah Kaukasus, dekat dengan bekas negara Uni Soviet yang kini cenderung pro-Barat.
Presiden Vladimir Putin bahkan menandatangani Pakta Kemitraan Strategis dengan Presiden Iran Masoud Pezeshkian awal 2025. Iran juga membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina.
Jika rezim Iran jatuh, Rusia akan merasa dikepung dari segala arah. Hal itu bisa mendorong Moskow bereaksi keras.
China pun tak kalah berkepentingan.
Negeri Tirai Bambu adalah pelanggan utama minyak Iran, 90 persen ekspor minyak mentah Iran mengalir ke China, meski secara resmi diembargo oleh Barat.
Lebih dari itu, Iran adalah penghubung vital bagi proyek ambisius Belt and Road Initiative (BRI). Jika Iran jatuh ke tangan rezim pro-Barat, China akan kehilangan jalur langsung ke Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Dari sisi geopolitik, serangan terhadap Iran juga bisa menyulut krisis di Selat Hormuz, jalur vital minyak dunia. Jika jalur ini terganggu, harga minyak melonjak, dan dunia bisa tergelincir lagi ke dalam krisis ekonomi global.
Satu hal yang pasti, jika AS memutuskan untuk menyerang Iran bersama Israel, maka China dan Rusia kemungkinan besar tak akan tinggal diam.
Dunia akan kembali ke era ketegangan ala Perang Dingin, tapi dengan risiko kehancuran yang jauh lebih luas dan lebih cepat.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]