WahanaNews.co | Ketika mendengar nama Singapura, negara kota yang bertetangga dengan Indonesia, yang terbayang adalah kemegahan bangunan, modernitas, dan negara maju.
Pada tahun 1960-an, ketika Singapura baru merdeka, 50-an hingga 60-an tahun lalu, sebagian penduduk di negara ini masih hidup miskin.
Baca Juga:
UMKM Papua Barat Go Global, PGS Tampil di FHA-Food & Beverage 2025 Singapura
Sebagian wilayahnya juga kumuh.
Kontras dengan sekarang, gedung pencakar langit berdiri di mana-mana, ditambah banyak surga belanja dan tempat hiburan.
Singapura pun jadi salah satu destinasi wisata, utamanya bagi warga Indonesia.
Baca Juga:
Mamin Indonesia Laku Rp736 Miliar dalam Pameran di Singapura
Salah satu tempat yang banyak didatangi di Singapura adalah Gardens by The Bay atau Marina Bay Sands, dua bangunan tersebut memperlihatkan Singapura sebagai negara industri yang begitu modern.
Akan tetapi, bagaimana jika ada desa di tengah negara dengan kehidupan urban tersebut?
Dari BBC Travel, Kampung Lorong Buangkok adalah sebuah desa yang terletak di daerah Buangkok, Hougang, Singapura.
Dari Yio Chu Kang Road, cukup mengikuti jalan tanah yang panjang yang berkelok-kelok sejauh sekitar 300 meter.
Kampung Lorong Buangkok merupakan satu-satunya desa yang masih ada di Singapura.
Layaknya mesin waktu, pengunjung akan menemukan lahan hijau seluas tiga hektar dan 25 rumah dengan gaya bangunan tahun 1960-an.
Mereka akan menjumpai rumah yang masih beratap seng dan berdinding kayu yang tersebar di sekitar surau (masjid kecil).
Selain itu, beberapa pohon khas daerah pesisir seperti ketapang juga ada.
Pokoknya, pemandangan di Kampung Lorong Buangkok ini sangatlah berbeda dengan daerah di sekitarnya yang begitu modern.
Selain itu, para penduduk lansia yang duduk di beranda mereka, kokok ayam jantan dan kicau burung seraya menambah suasana pedesaan yang menenangkan.
Hingga awal 1970-an, desa seperti Lorong Buangkok ini bisa ditemui di seluruh daratan Singapura.
National University of Singapore memperkirakan ada sebanyak 220 kampung yang tersebar di pulau yang sama.
Hingga saat ini, Lorong Buangkok hanyalah satu-satunya desa yang tersisa.
Pada awal 1980-an, Singapura mengalami urbanisasi dan dengan cepat beralih dari ekonomi pertanian ke industri.
Gedung pencakar langit serta berbagai flat bertingkat dibangun.
Jalan-jalan kecil diganti dengan jalan raya multi-jalur untuk menghubungkan seluruh kota.
Hal itu berimbas kepada pedesaan yang akhirnya tergantikan.
Maka dari itu, ratusan desa tradisional digusur, flora asli dilucuti, jalan tanah diratakan.
Beberapa penduduk desa enggan menyerahkan tempat tinggal mereka.
Namun tak sedikit juga yang pindah ke flat (hunian) bersubsidi yang dibangun pemerintah di atas rumah lama mereka.
Saat ini, lebih dari 80 persen orang Singapura tinggal di flat yang dibangun pemerintah ini.
Di sisi lain, pindahnya para warga ke flat juga mendorong rasa kebersamaan dalam budaya di Singapura.
Di kampung, warga tidak perlu mengunci pintu dan keluarga menyambut tetangga, yang sering mampir tanpa pemberitahuan untuk meminjam apa pun yang mereka butuhkan.
Ini adalah cara hidup yang coba diciptakan kembali oleh pemerintah setempat.
Kini, pemerintah berusaha dengan menambah jumlah ruang komunal bersama untuk mendorong interaksi sosial.
Pada tahun 2017, Dewan Perumahan dan Pengembangan Singapura bermitra dengan Universitas Teknologi dan Desain Singapura untuk mengembangkan kerangka kerja untuk kampung perkotaan.
Pendekatan teknologi tinggi yang menggunakan sensor gerak dan ruang Wi-Fi juga sedang dikembangkan bersama untuk mendorong persahabatan di antara tetangga.
Lawrence Wong, menteri pembangunan nasional saat itu, mengatakan, salah satu tujuannya adalah untuk memperkuat rasa kebersamaan antarsosial.
"Memperkuat semangat kampung di apartemen bertingkat kami," ujar Lawrence. [dhn]