WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah memanasnya ketegangan geopolitik di Laut Merah dan Semenanjung Arab, Amerika Serikat menghadapi pukulan strategis yang semakin merisaukan.
Keberhasilan kelompok Houthi dalam menjatuhkan pesawat-pesawat canggih milik AS menandai babak baru dalam asimetri kekuatan militer, yang menciptakan kekhawatiran di kalangan analis internasional.
Baca Juga:
Akhiri Era Kontroversial di Pemerintahan Trump, Elon Musk Umumkan Mundur Bertahap dari DOGE
"Ini adalah sinyal jelas bahwa senjata murah dengan strategi yang tepat bisa menghancurkan aset mahal milik negara adidaya," ujar James Callahan, analis militer dari King’s College London.
Kelompok Houthi di Yaman dilaporkan telah menjatuhkan tujuh unit pesawat nirawak MQ-9 Reaper milik Amerika Serikat dalam rentang waktu kurang dari enam pekan terakhir.
Menurut laporan Associated Press, kerugian yang ditanggung Pentagon akibat insiden ini mencapai lebih dari USD200 juta atau setara Rp3,4 triliun.
Baca Juga:
Pemerintah RI Minta Trump Patuhi Prosedur Hukum Soal WNI yang Ditahan di AS
Seorang pejabat militer AS menyebutkan bahwa dalam sepekan terakhir saja, tiga dari pesawat-pesawat itu berhasil dijatuhkan saat sedang menjalankan misi pengawasan atau operasi serangan di wilayah udara Yaman.
Pejabat pertahanan lainnya menyampaikan bahwa kendati tembakan dari pihak musuh diyakini menjadi penyebab utama jatuhnya drone-drone tersebut, penyelidikan menyeluruh masih terus dilakukan untuk memastikan detail insiden yang terjadi.
Serangan terhadap pesawat nirawak ini berlangsung dalam konteks meningkatnya operasi militer yang dilancarkan oleh AS dan sekutunya terhadap posisi-posisi yang mereka klaim sebagai "target Houthi".
Sejak 15 Maret lalu, AS telah meningkatkan intensitas kampanye militernya, menyusul pernyataan keras dari mantan Presiden Donald Trump yang menegaskan bahwa serangan akan terus ditingkatkan hingga Houthi menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di jalur maritim strategis Laut Merah.
Data terakhir mencatat lebih dari 750 serangan udara diluncurkan ke wilayah Yaman sejak kebijakan militer tersebut diberlakukan.
Banyak warga sipil Yaman dilaporkan menjadi korban dalam gelombang serangan tersebut, menimbulkan sorotan dari komunitas internasional.
Kelompok Houthi menyatakan bahwa serangan mereka ditujukan kepada kapal-kapal yang memiliki keterkaitan dengan Israel di kawasan Laut Merah dan sekitarnya.
Tindakan itu mereka lakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina di Gaza, yang menurut Houthi, menjadi korban genosida oleh Israel.
Selain menargetkan kapal-kapal Israel, Houthi juga mulai menyerang kapal-kapal milik Amerika Serikat dan Inggris sebagai bentuk balasan terhadap pemboman yang dilakukan negara-negara tersebut ke wilayah Yaman.
Dalam pernyataannya, kelompok Houthi menegaskan bahwa mereka akan menghentikan seluruh operasi militernya jika Israel bersedia menyepakati gencatan senjata permanen.
Komentar dari analis pertahanan di Jerman, Dr. Lukas Hartmann dari Institut Keamanan Global di Berlin, menyoroti efektivitas taktik Houthi.
“Strategi mereka berhasil mengguncang ilusi superioritas teknologi Barat di medan perang modern. Ini bukan hanya soal drone yang jatuh, tapi reputasi militer AS yang tengah dipertaruhkan.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]