WahanaNews.co, Jakarta - Warga di Jalur Gaza menghadapi krisis kemanusiaan setelah Israel menyerang dan memblokade daerah kantong tersebut, merespons gempuran milisi Hamas Palestina sejak akhir pekan lalu.
Warga kesulitan mendapatkan pasokan air, makanan, listrik, hingga bahan bakar buntut serangan tanpa henti kedua belah pihak.
Baca Juga:
Di Tengah Konflik Panjang, Ini Rahasia Israel Tetap Berstatus Negara Maju dan Kaya
Nadine Abdul Latif (13) dari Al Rimal, Kota Gaza, mengatakan bahwa dia dan keluarga tak memiliki pasokan air setelah terputus sejak Senin (9/10).
"Kami tidak punya air, terputus kemarin (Senin). Kami hampir tidak mendapat listrik atau internet, dan kami tidak bisa meninggalkan rumah untuk membeli makanan karena semakin berbahaya," ujar Nadine, seperti dikutip CNN, Selasa (10/10).
Nadine mengaku telah diimbau pergi oleh tetangga karena pasukan Israel bakal menyerang kawasan rumahnya tersebut. Namun, ia memutuskan tetap tinggal di sana karena "tak punya tempat yang aman untuk dikunjungi."
Baca Juga:
Pelanggaran Hukum Internasional, PBB: 70 Persen Korban di Gaza Adalah Perempuan dan Anak-anak
Ayahnya, Nihad, sudah hilang sejak Sabtu (7/10). Dia bekerja di Israel dan kini hilang kontak setelah serangan Hamas pada hari tersebut.
Sejak Hamas melancarkan serangan, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant memerintahkan blokade total di Jalur Gaza, termasuk menghentikan pasokan listrik, makanan, air, dan bahan bakar.
"Kami memerangi orang barbar dan akan merespons sesuai dengan itu," kata Gallant.
Lebih dari ratusan serangan pun diluncurkan Israel membalas gempuran Hamas. Kementerian Dalam Negeri Palestina menyebut sebagian besar target merupakan "menara, bangunan tempat tinggal, fasilitas sipil, layanan, dan banyak masjid."
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan telah mengubah 83 sekolah mereka di Gaza menjadi tempat penampungan sementara. Per Senin, UNRWA melaporkan kapasitas sekolah telah terisi 90 persen, dengan lebih dari 137 ribu orang berlindung di sana.
Tidak seperti kota-kota di selatan Israel, wilayah Gaza tak punya tempat berlindung dari bom atau bunker khusus untuk warga sipil.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa situasi kemanusiaan di Gaza sudah "sangat mengerikan sebelum konflik ini" dan sekarang "hanya akan memburuk secara eksponensial."
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) mengkritik blokade Israel. HRW menyebut blokade semacam itu adalah bentuk "kejahatan perang."
Program Pangan Dunia menyatakan pada Minggu (8/10) bahwa sebagian besar toko di Gaza cuma punya stok makanan untuk satu bulan. Stok ini "berisiko habis cepat karena orang-orang menimbun makanan imbas takut akan konflik yang berkepanjangan."
Pemadaman listrik berkepanjangan juga membuat makanan berpotensi busuk.
Jalur Gaza menjadi sasaran serangan udara Israel dalam berbagai konflik sejak pasukan Israel menarik diri dari wilayah itu pada 2005. Pertempuran kerap pecah antara Israel dan faksi-faksi Palestina di Gaza, termasuk Hamas dan Jihad Islam.
Israel mengontrol ketat pergerakan penduduk dari Gaza ke Israel melalui dua penyeberangan, yakni Erez dan Kerem Shalom. Kedua penyeberangan ini kini telah ditutup.
Beberapa orang, makanan, dan bahan bakar sebetulnya juga bisa memasuki Gaza lewat Mesir dari penyeberangan Rafah. Namun juru bicara Kementerian Dalam Negeri Palestina Eyad al-Bozom mengatakan pada Selasa (10/10) bahwa rute itu telah dibombardir Israel.
[Redaktur: Sandy]