WahanaNews.co | Seorang kakek berinisial T (68) harus menerima hukuman 5,5 tahun penjara setelah Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta menyatakan dirinya terbukti bersalah.
Kakek T yang merupakan pegawai Pondok Pesantren di Sleman itu terbukti mencabuli seorang anak perempuan yang berusia 10 tahun berulang kali di kompleks pondok pesantren.
Baca Juga:
Cabuli Anak Tetangga, Kakek 76 Tahun di Tulang Bawang Ditangkap Polisi
Hal itu tertuang dalam putusan PN Sleman yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Selasa (21/12/2021). Kasus bermula saat korban main ke rumah kakek T di lingkungan pondok pesantren dan menonton televisi pada Agustus 2020.
Kakek T tiba-tiba mengunci rumah dan mendatangi korban. Secepat kilat, kakek T mencabuli korban
Ternyata perbuatan itu bukan pertama kali. Sebelumnya, kakek T juga pernah melakukan hal serupa sebelumnya. Beberapa hari setelahnya, korban bertanya ke ibunya.
Baca Juga:
Kakek 63 Tahun di Lahat Cabuli Siswi SMP di Kandang Ayam
"Umi apakah dosa anak itu ditanggung oleh orang tuanya?" tanya korban.
"Iya karena orang tua yang harus bertanggung jawab," jawab ibu korban.
Tiba-tiba korban masuk kamar dan nangis.
"Kenapa kamu?" tanya ibu korban.
"Apakah dia akan dipenjara?" tanya korban.
"Dia siapa?" tanya ibu.
"Kakek," jawab korban.
Setelah itu, korban menceritakan semuanya ke ibunya. Keluarga korban tidak terima dan melaporkan kasus ini ke kepolisian. Kakek T akhirnya diproses dan diadili di PN Sleman.
Di persidangan, kakek T mengakui perbuatannya. Ia menyatakan telah tiga kali melakukan hal itu ke korban. Ia mengaku melakukan itu karena dorongan hawa nafsu.
"Saya sudah berkeluarga dan mempunyai anak tetapi pada tahun 2008 bercerai," kata kakek T.
Singkat cerita, majelis hakim PN Sleman menyatakan terdakwa erbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul sebagaimana dalam dakwaan tunggal.
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp 10 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan," kata majelis yang diketuai Ria Helpina.
Lalu mengapa kakek T bisa dikenai pasal tersebut, di mana dalam aksinya hanya melakukan 'ancaman kekerasan'?
Majelis menguraikan yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan.
Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih 'sopan, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan.
Menurut Arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 (NJ.1915 hal.1116), mengenai "ancaman kekerasan" tersebut disyaratkan sebagai berikut:
a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya;
b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu;
"Arrest HR tersebut hanya menjelaskan tentang cara bagaimana ancaman kekerasan itu diucapkan, namun "ancaman kekerasan" itu harus diartikan sebagai suatu "ancaman" yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam," beber majelis.
"Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka frase 'melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak' dalam unsur tersebut merupakan sarana atau daya upaya pelaku untuk mencapai tujuannya, atau dalam kalimat lain bahwa 'tipu muslihat' ini merupakan serangkaian upaya yang menekankan pada perbuatan-perbuatan/tindakan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan 'rangkaian kebohongan atau membujuk' merupakan upaya yang menekankan pada kata-kata bohong yang dalam hal ini dipersyaratkan adanya beberapa kata bohong yang diucapkan oleh pelaku yang konotasinya sama dengan menggerakkan si korban, sehingga dengan adanya bujukan pelaku, korban akhirnya mengikuti apa yang menjadi kemauan pelaku," beber majelis. (bay)