WahanaNews.co I Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup, (WALHI) dan
Konsorsium Pembaruan Angraria (KPA) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo
dan Ketua DPR RI dalam menangani pandemi Covid-19.
Rilis yang diteria WahanaNews.co Jumat,
(16/07/2021) menyebutkan, surat itu meminta kepada Presiden dan DPR agar
memperhatikan prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan memperhitungkan
secara matang dampak dari berbagai kebijakan pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Kabel PLN di Atas Bangunan Warga di Jalan Medan Batang Kuis: Pertanyaan Keamanan Muncul
Ketiga organisasi ini menyoroti kebijakan
PPKM dan beberapa kebijakan lainnya tidak efektif, tidak adil dan abai pada
aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat kecil. Sedangkan di sisi lain, Negara
membiarkan laju industri ektraktif dalam kategori Obyek Vital Nasional dan
Proyek Strategis Nasional terus berlangsung.
Negara seperti sengaja melupakan bahwa
virus ini masuk dalam kategori penyakitzoonosis.Virus
dari mikro-parasit yang berpindah inang kepada manusia karena kerusakan
lingkungan.
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menyebut penanganan pandemi yang
dilakukan sejauh ini belum terintegrasi dan belum menyeluruh sehingga telah
membawa kehidupan masyarakat pada situasi yang penuh ketidapastian dan selalu
dibayangi ancaman infeksi covid-19.
Baca Juga:
Mengamankan Arus Lalu Lintas, Polres Sibolga Gelar Posko Mobilitas Pagi
Kebijakan yang demikian telah menyebabkan
wilayah-wilayah masyarakat adat yang selama setahun terakhir berusaha kami jaga
dan lindungi dengan pembatasan keluar-masuk orang pada akhirnya tidak mampu
lagi menahan penyebaran covid-19, dan telah mengakibatkan jatuhnya korban.
Kebijakan Pemerintah seringkali ambigu. Di satu sisi melakukan
pembatasan namun di sisi lain membuka mobilitas manusia antar-daerah maupun
antar-negara. Hal itu ditambah pula dengan tidak meratanya akses pada testing,
ketidakseriusan dalam pelacakan, serta proses vaksinasi yang belum merata dan
belum menjangkau ruang-ruang hidup petani, nelayan, dan masyarakat adat secara
luas. Semua itu telah mengakibatkan risiko penularan yang tinggi dan semakin
meluas serta memberikan tekanan yang besar terhadap fasilitas layanan
kesehatan.
Selama ini, program vaksinasi lebih
banyak dilakukan secara terpusat, sehingga tidak jarang menimbulkan kerumunan
dan memperbesar risiko penyebaran Covid-19. Pemerintah perlu mempercepat, memperluas,
dan memperbaiki prosestestingdan
vaksinasi agar menjangkau mereka.
"Pemerintah juga perlu memperkuat
sosialisasi serta menertibkan informasi yang tidak bertanggung jawab mengenai
asal-usul vaksin, efikasi, maupun dampaknya, sehinggakepercayaan
dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program vaksinasi, meningkat," tegas
Rukka.
Kebijakan PPKM mungkin merupakan salah satu cara untuk memutus
rantai penyebaran Covid-19 yang terus meningkat.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional
WALHI menambahkan kebijakan PPKM ditetapkan secara sembrono dan tidak
memperhatikan dampak krusial terhadap masyarakat kecil. Kebutuhan pokok,
seperti pangan, lonjakan kebutuhan medis hingga tarif tes layanan tes medis
Covid-19 yang harganya sulit dijangkau oleh kelompok ekonomi menengah dan
bawah. Kondisi ini menjadi bukti, Pemerintah tidak mempersiapkan kebijakan ini
secara matang. DPR pun sama, tidak menjalankan tugas pengawasannya untuk
mengingatkan Pemerintah.
Kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam situasi
PPKM atau karantina wilayah merupakan tanggung jawab Pemerintah. Hal ini
ditentukan secara tegas dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan hak atas
pangan, layanan kesehatan dan hidup yang layak tanpa situasi pandemi pun tetap
menjadi kewajiban konstitusional negara. Untuk itu, negara, baik Pemerintah dan
DPR harus segera mengambil kebijakan dan tindakan untuk memenuhi hak-hak dasar
tersebut kepada setiap orang.
"Negara juga harus menghentikan seluruh
aktivitas ekstraktif skala besar. Hal ini berguna untuk memutus potensi
timbulnya varian penyakitzoonosislainnya.
Ancaman yang akan memperparah krisis," tambah Nur Hidayati.
AMAN-WALHI-KPA juga menyoroti upaya komersialisasi layanan tes
yang semakin hari memperlihatkan wajah komersialnya. Pada saat seperti ini,
Negara harusnya melakukan layanan tes massif yang menjangkau ruang-ruang hidup
petani, nelayan, dan masyarakat adat yang menjadi korban karena praktik
kebijakan karantina dan pembatasan yang tidak pernah serius. Akses dan layanan
tes bebas pungutan biaya harus menyentuh petani, nelayan, masyarakat adat,
serta masyarakat marjinal lainnya. Praktik komersialisasi swab antigen, PCR
hingga vaksin harus dihentikan.
Di tengah krisis akibat pandemi, Pemerintah dan DPR tidak
menghentikan korporasi yang semakin agresif merampas ruang hidup petani,
nelayan, dan masyarakat adat. Dalam banyak kasus, apparat negara seringkali
justeru tampak melakukan kekerasan terhadap petani, nelayan, dan masyarakat
adat yang berjuang mempertahankan hak.
Dewi Kartika, Sekjen KPA mengemukakan, situasi
tersebut telah menyebabkan petani, nelayan, dan Masyarakat Adat merasa semakin
terancam. Konflik dan kekerasan terus terjadi. Masyarakat tidak lagi merasa
aman dan nyaman dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Konflik dan kekerasan yang terus terjadi merupakan bukti Negara
tidak menempatkan rakyat dan isu kerakyatan sebagai persoalan pokok dalam
menghadapi krisis ini. Ketika rakyat dibatasi ruang hidup dan penghidupannya,
korporasi malah dibiarkan terus menguras sumber-sumber agraria. Dalil objek
vital nasional dan proyek strategis nasional menjadi kedok untuk meminggirkan
rakyat ditengah penetapan PPKM.
Di kota-kota, kelompok masyarakat kecil
yang terpaksa harus beraktivitas agar kehidupan dapat terus berjalan cukup
banyak yang menjadi korban dari upaya penagakan hukum yang dilakukan negara.
"Apakah mereka yang kecil harus dipaksa
berdiam diri di ruman, tanpa bantuan dan insentif? Sementara sumber kehidupan
mereka dibatas kebijakan PPKM," sebut Dewi.
Lebih lanjut Dewi mengemukakan bahwa di tengah perekonomian
nasional yang tampak stagnan dan penerapan PSBB, perampasan tanah berskala
besar tidak menurun dengan cara-cara yang semakin tak terkendali dengan adanya
241 konflik agraria yang tersebar di 359 kampung/desa dan melibatkan 135.337 KK
di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.
Dewi mengemukakanbahwa
aktivitas-aktivitas perusahaan di berbagai sektor, seperti pertambangan,
perkebunan, kehutananan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan proyek-proyek infrastruktur
di atas ruang ruang hidup Masyarakat Adat dan petani, tidak berkurang sama
sekali. Hal tersebut menyebabkan Masyarakat Adat dan petani mengalami kesulitan
untuk menjaga keselamatan diri di tengah pandemi.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil
keputusan yang tegas disertai dengan pemberian sanksi agar
perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan merampas ruang-ruang hidup Masyarakat
Adat, petani, dan nelayan, segera menghentikan aktivitasnya. Selanjutnya,
anggaran terutama proyek-proyek infrastruktur pemerintah perlu dialihkan untuk
mencukupi kebutuhan pangan dan kesehatan rakyat di tengah pandemi.
AMAN-WALHI-KPA memandang Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Desa penting untuk melakukan realokasi danrefocusinganggaran untuk memastikan
layanan kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat dapat dipenuhi. Tentu,
kebijakan ini harus dilimplementasikan secara trasnparan dan lepas dari praktik
korupsi.
Tidak hanya itu, negara juga harus
berhenti dengan narasi penyelamatan ekonomi makro/ pertumbuhan ekonomi.
Menyelamatkan rakyat jauh lebih penting dibanding menyelamatkan ekonomi
kapitalistik. Kebijakan penanganan pandemi harus dilakukan secara matang dengan
memperhatikan basis ilmu pengetahuan dan keberpihakan pada rakyat.
AMAN, WALHI, dan KPA menyatakan penting sekali bagi pemerintah
untuk secara serius mendengarkan ahli kesehatan yang kompeten dalam penanganan
pandemi dan mengambil kebijakan berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan hanya
memikirkan keberlangsungan bisnis pengusaha skala besar yang selama ini sudah
mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan dari negara.
Tidak akan ada ekonomi yang berkelanjutan
di tengah berlarutnya pandemi dan kualitas kesehatan masyarakat yang rendah. (tum)