WahanaNews.co | Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 32/ 2022.
Fatwa tersebut berisi tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
Baca Juga:
Sapi Ngamuk di Lampung, Panitia Kurban Muntah Darah Ditendang
Terdapat tiga hukum terhadap penyakit tersebut, yakni sah, tidak sah, dan tidak memenuhi syarat sebagai hewan kurban.
Mengutip bunyi fatwa tersebut Rabu (1/6/2022), hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan tetap dinyatakan sah menjadi hewan kurban.
Adapun kategori ringan meliputi lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya.
Baca Juga:
Gubernur Kaltara Serahkan Sapi Kurban ke Mesjid Jami Usai Shalat Idul Adha
Selanjutnya, untuk kategori tidak sah, adalah hewan yang terkena PMK gejala klinis kategori berat. Ciri-cirinya adalah, lepuh pada kuku sampai terlepas, pincang, tidak bisa berjalan, dan menyebabkan hewan tersebut sangat kurus.
Hewan yang terjangkit PMK dengan gejala klinis kategori berat tapi sembuh dari PMK setelah lewat rentang waktu yang dibolehkan berkurban (tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah), maka hewan tersebut bisa disembelih. Kendati demikian, dagingnya dianggap sedekah.
Dikatakan pula, pelobangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan sudah divaksin atau sebagai identitasnya, tak menghalangi keabsahan hewan kurban.
Dalam fatwanya, MUI juga mengeluarkan 10 poin panduan kurban untuk mencegah peredaran Wabah PMK sebagai berikut: Pertama, umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan kurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan kurban memenuhi syarat sah, khususnya dari sisi kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, umat Islam yang melaksanakan kurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung proses penyembelihan.
Ketiga, umat Islam yang menjadi panitia kurban bersama dengan tenaga kesehatan perlu mengawasi kondisi kesehatan hewan dan proses pemotongan dan penanganan daging, jeroan, dan limbah Keempat, Dalam hal terdapat pembatasan pergerakan ternak dari daerah wabah PMK ke daerah lain yang menyebabkan kurangnya stok, maka umat Islam yang hendak berkurban:
a. Dapat berkurban di daerah sentra ternak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mewakilkan (tawkil) kepada orang lain.
b. Berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang menyelenggarakan program pemotongan hewan kurban dari sentra ternak. Kelima, Lembaga Sosial Keagamaan yang memfasilitasi pelaksanaan kurban dan pengelolaan dagingnya agar meningkatkan sosialisasi dan menyiapkan layanan kurban dengan menjembatani calon pekurban dengan penyedia hewan kurban.
Keenam, daging kurban dapat didistribusikan ke daerah yang membutuhkan dalam bentuk daging segar atau daging olahan. Ketujuh, panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban diwajibkan menerapkan prinsip kebersihan dan kesehatan. Hal itu bertujuan untuk mencegah penyebaran virus PMK lebih luas.
Kedelapan, pemerintah wajib menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban bagi masyarakat muslim. Namun, bersamaan dengan itu Pemerintah wajib melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat dikendalikan dan tidak meluas penularannya. Kesemilan, Pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban.
Terakhir, pemerintah wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran virus PMK dapat dicegah semaksimal mungkin. [rsy]