WahanaNews.co | Hari ini, Rabu, 17 Agustus 2022, tepat HUT ke-77 Kemerdekaan RI.
Berikut ini sejarah Bendera Merah Putih, dan simak pula etika atau tata cara penggunaan dan larangan terhadap Bendera Negara.
Baca Juga:
Diundang Nyanyi di Rumah Konglomerat, Farel Prayoga Lagi-lagi Bikin Ambyar
Ya, hari ini, Rabu, 17 Agustus 2022, adalah hari peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan RI.
Semarak 17 Agustus tahun ini lebih terasa bergema, karena berbeda dengan dua tahun sebelumnya yang dalam kondisi pandemi Covid-19.
Tahun 2022 ini, meski pandemi Covid-19 belum berakhir, namun situasinya lebih baik.
Baca Juga:
Galang Antusiasme Peringati HUT RI, KDEI Taipei Ajak WNI di Taiwan Bersepeda Bersama
Beragam cara memperingati HUT Ke-77 Kemerdekaan RI, salah satunya mengibarkan Bendera Merah Putih, baik di dalam upacara maupun secara pribadi.
Ya, bendera adalah salah satu identitas sebuah negara.
Bendera Indonesia berwarna merah dan putih, tentu ada maknanya.
Warna merah menggambarkan keberanian, sedangkan warna putih melambangkan kesucian.
Sejarah Bendera Merah Putih
Dikutip dari Kemendikbud, kelahiran Bendera Sang Saka Merah Putih dilatarbelakangi oleh izin kemerdekaan dari Jepang pada 7 September 1944.
Jepang berjanji memberikan kemerdekaan kepada para pejuang untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Chuuoo Sangi In (badan yang membantu pemerintah pendudukan Jepang terdiri dari orang Jepang dan Indonesia) menindaklanjuti izin tersebut dengan mengadakan sidang tidak resmi pada tanggal 12 September 1944, dipimpin oleh Ir Soekarno.
Hal yang dibahas pada sidang tersebut adalah pengaturan pemakaian bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia.
Hasil dari sidang ini adalah pembentukan panitia bendera kebangsaan Merah Putih dan panitia lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Fatmawati, istri Presiden Indonesia (saat itu), Soekarno, menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih usai dirinya dan keluarga kembali ke Jakarta dari pengasingan di Bengkulu.
Atas permintaan Soekarno kepada Shimizu, kepala barisan propaganda Jepang (Sendenbu), Chaerul Basri diperintahkan mengambil kain dari gudang di Jalan Pintu Air untuk diantarkan ke Jalan Pegangsaan Nomor 56, Jakarta.
Bendera berbahan katun halus (setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus) itu berwarna merah dan putih, dengan panjang 300 cm dan lebar 200 cm.
Pada 13 November 2014, bendera itu diukur ulang.
Ukuran tepatnya adalah panjang 276 cm dan lebar 199 cm.
Bendera tersebut dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta, oleh Latief Hendraningrat dan Suhud.
Arti dan Sejarah Penggunaan Warna Merah Putih
Panitia bendera kebangsaan Merah Putih menggunakan warna merah dan warna putih sebagai simbol.
Merah berarti berani dan putih berarti suci.
Kedua warna ini sampai saat ini menjadi jati diri bangsa.
Ukuran bendera ditetapkan sama dengan ukuran bendera Nippon, yakni perbandingan antara panjang dan lebarnya adalah tiga banding dua.
Di samping bermakna berani dan suci, kombinasi warna merah dan putih telah digunakan dalam sejarah kebudayaan dan tradisi di Indonesia pada masa lalu.
Kombinasi merah dan putih pun digunakan pada desain sembilan garis merah putih bendera Majapahit.
Sempat Dipisah Jadi Dua Bagian
Pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri pindah ke Yogyakarta karena keamanan para pemimpin Republik Indonesia tidak terjamin di Jakarta.
Bersamaan dengan perpindahan tersebut, bendera pusaka atau bendera yang dijahit oleh Fatmawati turut dibawa dan dikibarkan di Gedung Agung.
Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, bendera pusaka sempat diselamatkan oleh Presiden Soekarno dan dipercayakan kepada ajudan Presiden yang bernama Husein Mutahar untuk mengamankan bendera itu.
Husein Mutahar mengungsi dengan membawa bendera tersebut dan untuk alasan keamanan dari penyitaan Belanda.
Ia kemudian melepas benang jahitan bendera sehingga bagian merah dan putihnya terpisah, kemudian membawanya dalam dua tas terpisah.
Pertengahan Juni 1949, ketika berada dalam pengasingan di Bangka, Presiden Soekarno meminta kembali bendera pusaka kepada Husein Mutahar.
Ia kemudian menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubang jahitannya satu persatu.
Bendera pusaka kemudian disamarkan dengan bungkusan kertas koran dan diserahkan kepada Soejono untuk dikembalikan kepada Presiden Soekarno di Bangka.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno bersama bendera pusaka tiba dengan selamat di Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta.
Kemudian, tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman depan Gedung Agung.
Pada tanggal 28 Desember 1949, sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda di Den Haag, bendera pusaka disimpan di dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia Airways.
Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, bendera tersebut ditetapkan sebagai Bendera Pusaka dan selalu dikibarkan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan di depan Istana Merdeka.
Etika Penggunaan Bendera Negara
Dikutip dari gramedia.com, Bendera Negara dapat digunakan sebagai tanda perdamaian, terutama bila terjadi konflik horizontal di wilayah NKRI.
Sementara itu, bendera sebagai tanda berkabung dikibarkan setengah tiang.
Bendera setengah tiang berasal dari abad 17.
Tradisi ini diperkenalkan oleh para pelaut Inggris dan diikuti oleh negara-negara lain hingga sekarang.
Sejak tahun 1612, kapten kapal Inggris Heart’s Ease meninggal dalam perjalanan ke Kanada.
Penumpang kapal mengibarkan bendera kebangsaan Inggris untuk menghormati mendiang kapten.
Bendera tersebut tidak dikibarkan di ujung tiang tapi di tengah tiang.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan perkabungan.
Selain itu, bendera Merah Putih juga digunakan sebagai Penutup peti atau usungan jenazah.
Untuk tata cara penggunaan Bendera Negara, berikut beberapa di antaranya:
1. Bendera Negara dikibarkan dan atau dipasang pada tiang yang besar dan tingginya seimbang dengan ukuran Bendera Negara.
2. Bendera Negara yang dipasang pada tali diikatkan pada sisi dalam kibaran Bendera Negara.
3. Bendera Negara yang dipasang pada dinding, dipasang membujur rata.
4. Bendera Negara dinaikkan atau diturunkan pada tiang secara perlahan-lahan, dengan khidmat dan tidak menyentuh tanah.
5. Pada waktu penarikan atau penurunan Bendera Negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadap kan muka pada Bendera Negara hingga selesai.
6. Penaikan dan penurunan Bendera Negara dapat diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Larangan terhadap Bendera Negara
Larangan terhadap perlakuan bendera diatur dalam Pasal 57 di UU Nomor 24 Tahun 2009 dari huruf a sampai d.
Berikut bunyi dari Pasal 57, di mana setiap warga Indonesia dilarang:
1. Mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara
2. Menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran
3. Membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara
4. Menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Sementara itu, pada Pasal 66, “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.” [gun]