WahanaNews.co | Stempel hoaks pada karya jurnalistik yang dikeluarkan aparat menjadi sorotan dalam Indonesia Fact-checking Summit 2021, Kamis (16/12/2021).
Hal itu diangkat dalam sesi berjudul “Menggugat Monopoli Kebenaran dalam Stempel Hoaks: Siapa yang Bisa Memeriksa Fakta”.
Baca Juga:
Pemprov Jateng Bentuk Posko Desk Pilkada Pantau Kerawanan dan Jaga Kondusifitas
Para pembicara yang hadir yaitu Gaib Maruto Sigit, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI); Caroline Damanik (Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com); Nuril Hidayah (Ketua Komite Litbang Mafindo).
Label Hoaks pada Karya Jurnalistik Disorot
Baca Juga:
Masinton Pasaribu Polisikan Wakil Ketua DPRD Tapteng Soal Tuduhan Kancing Baju Copot
Gaib Maruto Sigit mengatakan, label hoaks tidak bisa diberikan secara serampangan.
Apalagi terhadap karya jurnalistik yang telah melalui proses verifikasi lapangan dan dikeluarkan oleh media kredibel.
Pihaknya mengatakan, yang bisa memberikan penilaian dari karya jurnalistik adalah Dewan Pers.
Ia pun menekankan agar media yang memiliki conflict of interest dengan kepentingan bisnis, tidak melakukan pemeriksa fakta pada karya jurnalistik media lain.
Tidak hanya soal stempel hoaks, konten mis-disinformasi kerap beredar lebih cepat dan luas dibandingkan konten terverifikasi.
Media massa serta pengecek fakta, yang memverifikasi konten, harus memiliki prioritas dan strategi distribusi yang tepat agar hoaks tersebut padam seketika.
Hoaks Isu Politik
Sementara itu, Aribowo Sasmito, Co-founder and Fack Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), mengatakan, berdasarkan pengalamannya, konten bernada negatif dan berkaitan dengan isu politik merupakan yang paling sering muncul untuk dibahas dalam siniar Cek Fakta yang dikelola KBR.
“Konten yang diplintir itu lebih sulit untuk dijelaskan karena terkadang publik menganggap foto atau videonya tidak dimodifikasi,” terang Aribowo.
Guna mensosialisasikan pentingnya menghentikan penyebaran hoaks, Aribowo memilih menyematkan jargon-jargon yang mudah diingat.
Semboyan sharing yang penting bukan yang penting sharing, care with what you share.
“Yang paling sering juga jaga emosi, tahan jari, verifikasi sebelum dibagi,” tambah Aribowo.
Cek Fakta terkait Pandemi
Di sisi lain, dokter spesialis penyakit dalam, Adaninggar Prima Nariswari, tergerak membuat konten cek fakta karena dirinya merasa semasa pandemi kerap beredar informasi yang menyesatkan di berbagai media sosial.
Konten-konten menyesatkan itu semakin viral jika pesannya disampaikan oleh pejabat publik atau public figure.
“Saya memilih buat meluruskan dari lingkungan terdekat dulu,” kata Adaninggar.
Iklan Digital Informasi Palsu
Sementara itu, pada sesi ketiga, narasumber banyak menyoroti soal peredaran iklan digital (programmatic ads) dari perusahaan teknologi digital yang kontennya memuat informasi palsu.
Kondisi ini memprihatinkan karena pada sisi lain, media daring memerlukan pemasukan.
Guna mengatasi kondisi tersebut, para pemantik serta penanggap mendorong perlunya menciptakan ekosistem bisnis yang sehat.
Media tetap menjaga kualitas dengan menayangkan iklan yang mematuhi kode etik periklanan dan tidak menyebarkan kebohongan.
Heru Margianto, Managing Editor Kompas.com, menyatakan, pihaknya memutus kerjasama dengan MGID Indonesia karena konten-konten programmatic ads dari perusahaan tersebut kental dengan hoaks.
Pelatih pengecek fakta ini memberikan contoh konten iklan produk penurun berat badan yang menggunakan foto hasil comotan dari internet dan narasi yang difabrikasi.
Pengiklan membalut produknya dengan cerita fiksi terkait temuan produk penurun berat badan hingga 15 kilogram dalam satu pekan oleh Rini Kusumastuti.
“Yang brutal, sampai-sampai (konten dibuat seolah-olah) Menteri Sosial Risma memberikan penghargaan dan mendukung produk itu,” tegas Heru sembari menegaskan hasil pengecekan fakta tidak menemukan informasi soal temuan perempuan tersebut tidaklah benar adanya.
Menyoal praktik buruk programmatic ads tersebut, Dosen Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Lilik Dwi Mardjianto, mengusulkan agar pengiklan, agensi periklanan, perusahaan penyedia teknologi iklan, serta publisher atau media berkolaborasi guna membahas penyelesaiannya.
Pihak media, sambung Lilik, mau tidak mau perlu melakukan terobosan dengan mengedepankan prinsip konten aman baru memikirkan profit.
Bisa dengan membentuk tim guna verifikasi konten programmatic ads.
Selain itu mengedepankan kerjasama dengan perusahaan teknologi yang mengutamakan kualitas konten iklan.
Dewan Periklanan Indonesia juga perlu memastikan seluruh penyelenggara periklanan tunduk pada etika pariwara Indonesia.
Prinsip swakrama yang dasarnya dibentuk oleh komunitas periklanan itu sendiri perlu dipegang teguh.
“Sudah ada anjuran agar pelaku periklanan melakukan konfirmasi ulang jika menemui informasi yang diduga tidak benar atau tidak tepat,” tambah Lilik.
Menanggapi berbagai kritikan tersebut, Moch Rifki sebagai perwakilan MGID mengaku sudah melakukan pembenahan bertahap ke manajemen dan tim kontennya.
Mereka juga memanfaatkan piranti verifikasi serta pengecekan informasi secara manual guna mengeliminir konten-konten iklan yang diduga disinformasi.
“Di internal kami lakukan edukasi untuk mekanisme advertorial yang benar. Kepada manajemen juga kami sampaikan edukasi terkait pendekatan kepada market Indonesia ada hal-hal yang penting diperhatikan dari sisi konten,” tutur Rifki yang menggunakan skema High Safety Ranking kepada iklan-iklan yang masuk ke MGID dari pengiklan.
Korban dari penggunaan konten di media sosial yang tidak bertanggungjawab untuk pariwara, Denia Isetianti, mengapresiasi media massa dan MGID yang menyatakan permohonan maaf secara terbuka usai memuat foto tanpa izin dibalut narasi yang tidak benar.
Warganet bisa mengikuti langkah Denia dengan mengirimkan somasi kepada media massa jika ada foto atau dokumen elektronik miliknya tanpa izin.
“Yang jadi catatan saya adalah ketika iklan (yang memuat foto saya) sudah diturunkan, ada lagi iklan dengan foto orang lain. Itu harus diperhitungkan lebih lanjut (oleh media massa) karena jika dipermasalahkan ke polisi dan gugatan pasti panjang urusannya. Denda paling banyak Rp 12 miliar dan pasalnya tidak mengharuskan ada kerugian (dari pelapor),” kata Denia. [dhn]