WahanaNews.co | Pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur, yang terjadi 76 tahun silam, dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Kala itu, arek-arek Surabaya dengan penuh keberanian melawan serbuan tentara Inggris yang sebelumnya mengultimatum agar mereka menyerahkan senjatanya sebelum pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945.
Baca Juga:
Kementerian PU: Teladani Semangat Kepahlawanan Dalam Membangun Negeri
Ultimatum itu keluar setelah tertembaknya Jenderal Mallaby dari Inggris yang menjadi pemimpin operasi tentara sekutu dalam rangka pelucutan senjata tentara Jepang di Indonesia, menyusul kekalahan Jepang.
Kendati demikian, sebelum tertembaknya Jenderal Mallaby, situasi keamanan di Surabaya dan kota-kota yang menjadi titik pendaratan pasukan sekutu sudah memanas sejak pasukan yang dipimpin Inggris itu tiba di Tanah Air.
Dalam autobiografinya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, sang proklamator, Presiden Soekarno, mengisahkan bahwa terjadi kekacauan di Surabaya sejak tentara Inggris mendarat sebelum pecah pertempuran 10 November.
Baca Juga:
Lapas Sibolga Gelar Upacara Peringatan Hari Pahlawan: Teladani Nilai-Nilai Kepahlawanan
Kekacauan terjadi karena rakyat menolak kedatangan tentara Belanda yang ikut dalam rombongan tentara Inggris ke Indonesia.
Rakyat yang telah mengambil alih senjata milik tentara Jepang juga menolak menyerahkan senjata mereka kepada tentara Inggris.
Gesekan antara rakyat Surabaya dengan tentara Inggris pun tak terhindarkan.
Karena tak mampu menangani amukan rakyat Surabaya, Inggris pun meminta bantuan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menenangkan mereka.
Setibanya di Surabaya, dalam autobiografinya itu, Bung Karno menggambarkan suasana Surabaya sangat mencekam.
"Di setiap penjuru jalan terjadi perkelahian hebat satu lawan satu. Mayat bergelimpangan di mana-mana," tutur Soekarno.
Soekarno dan Hatta lalu berunding dengan para jenderal tentara Inggris.
Dalam perundingan tersebut kedua belah pihak menyetujui adanya gencatan senjata.
Tentara Inggris memberikan sebuah jip kepada Soekarno untuk berkeliling menenteramkan keadaan yang sedang kacau.
"Aku berkeliling ke seluruh penjuru di mana saja pahlwan-pahlawan muda kami berada dan berbicara berhadap-hadapan muka dengan mereka. Masing-masing (dari mereka) memegang senjata dengan laras terisi dan tidak terkunci," kata Bung Karno.
"Seorang pemuda berumur kira-kira 16 tahun berdiri di dekatku, memegang senapannya tegak lurus dan menampung setiap kata yang keluar dari mulutku. Ketika aku mengatakan sesuatu, semangatnya meluap, dan Dor! Senapan terkutuk itu meletus tepat di belakang telingaku," ujar Soekarno.
Namun, upaya Soekarno dalam menenangkan masyarakat Surabaya saat itu tak berbuah manis.
Situasi kian memanas terutama setelah Jenderal Mallaby tertembak.
Inggris pun mengultimatum rakyat Surabaya segera menyerahkan senjata mereka sebelum pukul 06.00 pada 10 November 1945.
Rakyat Surabaya menolak tegas ultimatum tersebut.
Pertempuran 10 November pun pecah dan dikenang sebagai salah satu pertempuran yang dahsyat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. [dhn]